26. Who's Rara?

667 68 34
                                    

*di bab ini kalian boleh komen misuh sepuasnya.

HAPPY READING!


"Mulut diciptain di depan. Jadi kalo lo ngerasa punya mulut yang normal. Silakan ngomong di depan gue!" — Zenata Soraya.

——————————————

"Pa, motor sama balapan itu udah sebagian dari hidup Nana. Papa tega ngambil sebagian dari hidup Nana?"

"Nggak usah bawa-bawa hidup. Tau apa kamu tentang hidup?"

"Papa kok jadi kayak gini sih? Jahat banget tau nggak sama anak sendiri!"

"Lebih jahat mana sama kamu?"

"Maksud Papa apa?"

Pagi-pagi sekali Zena sudah berdebat dengan Pak Zakaria—Papanya. Gadis itu sangat tidak mau dipisahkan dari motor dan balapannya. Keduanya itu sudah benar-benar melekat di kehidupan Zena. Nggak balapan nggak hidup, begitu katanya.

"Kamu tau kan resiko terluka dari ikutan balapan nggak jelas itu? Kamu bisa aja celaka tiba-tiba dan nggak tertolong. Kalo sampe kayak gitu emang kamu tega buat Papa, Mama, dan Aa sedih karena kehilangan kamu?" ungkap Pak Zakaria berterus terang alasannya melarang Zena karena apa.

"Pa, Zena itu selalu pake pengaman kalo balapan."

"Nggak usah bohong kamu! Kamu pikir Papa nggak tau? Balapan ilegal di pinggir jalan. Masih mending kalo ketangkep polisi, lah kalo kecelakaan terus mati gimana? Kamu tega buat kami semua sedih?"

Zena sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Gadis itu hanya menatap kosong pria paruh baya di depannya. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini meluncur bebas membasahi pipinya.

"Papa punya dua opsi. Mending berenti ikut balapan atau motor kamu Papa sita?" kata Zakaria mengajukan penawaran.

"It's a difficult choice," gumam Zena. "Pa, kalo ikut balapan tuh uangnya lumayan buat jajan. Nana juga jadi sering berbagi sama temen-temen. Papa nggak tau kan seberapa banyak uang yang Nana tabung di ATM hasil dari balapan itu?"

"Memang uang yang selama ini Papa kasih masih kurang? Sampe harus ikutan kayak gitu? Tolonglah Na, jangan selalu buat Papa khawatir karena pergaulanmu." Suara Pak Zakaria melemah.

"Nana nggak pernah pake uang Papa. Semua uang Papa utuh, Nana tabung. Selama ini Nana selalu pake uang Nana sendiri hasil dari balapan. Asal Papa tau ya, Nana nggak butuh uang. Nana cuma butuh kasih sayang dan perhatian dari Papa!"

Setelah itu Zena langsung meninggalkan Papanya yang masih berdiri mematung di ruang tamu. Zena takut emosinya akan terkuar. Bagaimanapun beliau adalah Papanya, orang yang sudah berjuang mati-matian untuk memberikannya kehidupan yang lebih baik. Tak sepantasnya Zena emosi dan melawan kehendaknya.

Gadis itu mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli dengan sumpah serapah orang-orang yang dilaluinya. Hanya ini pelarian Zena jika sedang merasa tertekan karena sebuah pilihan. Kebut-kebutan di jalan tanpa memperdulikan akibat yang akan ia terima.

*******

Dengan muka ditekuk Zena berjalan di koridor yang terlihat sudah ramai. Zena melirik arloji di tangan kirinya. Baru jam 07.15, masuk sekolah kan jam 07.20. Harusnya gue lama-lamain aja tadi, kata Zena dalam hati.

Baju putihnya sengaja dikeluarkan. Rok abu-abunya sudah tidak sependek dulu. Walaupun begitu tak menghilangkan julukan bad girl dari diri seorang Zena.

ZENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang