6. Identitas

325 86 44
                                    

Duta merasakan senyum lebarnya tidak kunjung memudar sejak pertemuan pertama dengan Isyana beberapa jam yang lalu.

"Lucu banget, sih," komentarnya tanpa sadar seraya memutar kenop pintu rumah.

"Dari mana aja kamu baru pulang?"

Baru saja pemuda tersebut menginjakkan kaki di ruang tamu, pertanyaan satiris dari seorang pria berbadan tegap itu sontak membuatnya menghentikan langkah.

"Main sama temen," jawab Duta enteng tanpa terintimidasi tatapan elang lawan bicaranya.

"Sampe jam 11 malem?"

Sebagai respon, ia hanya mengangguk singkat.

"Yakin?"

"Iya. Kenapa Papa nggak percayaan banget sama Duta, sih?" sahutnya sebal seraya melanjutkan langkah.

Tawa hambar dari papanya kontan berderai. "Papa nggak percaya semua ucapan kamu sejak di bangku SMP, Ta."

Duta hanya mengendikkan bahu tak acuh.

"Kamu nggak ikut-ikutan tawuran, kan?"

"Nggak."

Alfian tak senaif itu untuk langsung mempercayai ucapan putra semata wayangnya. Ia pun menghela napas kasar. "Ta, Papa tau kamu berada di masa remaja. Fase-nya pencarian jati diri. Tapi, nggak harus menjadi pemberontak, kan?"

"Tuh, tau. Papa kayak nggak pernah muda aja," tukas Duta sesaat setelah membanting pintu kamar.

Alfian mengelus dada menyaksikan sikap putra satu-satunya itu.

Duta yang sekarang bukanlah Duta yang ia kenal.

Dulu, Duta tak pernah memberontak. Ia selalu menjadi anak yang penurut dan terbuka terhadap segala hal.

Akan tetapi, sejak di bangku SMP, ia menemukan pergaulan baru. Pergaulan bebas yang memaksanya tergelincir dalam lubang hedonisme.

Alfian tak menyalahkan Duta dalam hal itu.  Ia juga turut andil ketika anaknya terjerumus pada pergaulan bebas. Tugas negara membuatnya harus keluar kota berbulan-bulan. Sementara istrinya sudah meninggal ketika melahirkan Duta.

Lantas, tak ada yang mengawasi dengan siapa anaknya itu akan berteman, bukan?

Siapa yang tahu ia ternyata bersahabat dengan preman sekolah?

Sosialisasi yang ia berikan kepada Duta tampaknya belum sempurna.

Sekarang, siapa yang patut disalahkan ketika putranya menjadi sosok pemberontak akibat lingkungan barunya yang membentuk?

"Dia sedang berada di fase pencarian jati diri."

____

"Sialan, kita kalah lagi!" Seorang pemuda berbadan tambun menggebrak meja di hadapannya geram. Sorot elangnya mengkilat tajam menatap satu persatu anggota dalam markas.

Cowok dengan kaki kanan dibebat perban itu menambahkan, "Salah strategi kita."

Pemuda berbadan tambun tersebut mengacak rambutnya putus asa. Tangannya terulur menarik secarik karton manila dari dalam laci meja. Lalu, membentangkan isinya lebar-lebar. Melalui gerakan matanya, pemuda itu menyuruh ke-lima belas anak manusia di dalam ruangan untuk lebih mendekat. "Harusnya, kita serbu dari arah sini." Jari telunjuknya mendikte sebuah tempat pada denah strategi. "Ada juga yang jaga di area sini kalau semisal kita terdesak mundur. Tapi, nyatanya? ANCUR!" gertaknya murka sambil menekankan kata terakhir.

Semua orang di dalam ruangan sontak menunduk.

"Lo ... Duta? Ngapain malah mundur-mundur nggak sesuai strategi?"

All the Bad ThingsWhere stories live. Discover now