40. Ikhlas

173 58 15
                                    

"Syan? Ke mana aja kamu baru pulang?"

Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan putri semata wayangnya dengan pertanyaan retoris.
Tatapannya menyelidik, tampak cemas.

Sebagai tanggapan, Isyana hanya mengulum senyum tipis. "Jualan sama temen-temen."

Kedua netra wanita tersebut sontak terbelalak sempurna. Alisnya berkedut. Dahinya bergelombang, meminta penjelasaan. Ia melayangkan tatapan tidak percaya kepada gadis tersebut."Jualan? Buat apa? Buat nambahin uang Ibu supaya bisa daftar ke Andalas High School?"

Isyana menggeleng kuat-kuat, menyebabkan rambut kucir satunya begerak bebas mengikuti gerakan kepala.

Kerutan di dahi ibunya kian bertambah. "Lah, terus?"

Menghela napas panjang, Isyana mulai menjelaskan, "Isyan udah nggak mikirin itu lagi, Bu." Sebagai penutup kalimat, ia tersenyum simpul.

Ibunya memandang gadis berkucir kuda itu dengan sorot haru bercampur tidak percaya. Ia refleks membawa Isyana ke dalam pelukannya. Sementara kristal bening menggenang di kelopak mata, siap dimuntahkan. "Isyan...."

Menggeleng singkat, Isyana melepaskan dekapan beliau hati-hati. Sambil menyiapkan perasaannya agar tidak kembali goyah, gadis berkucir kuda tersebut mulai menjelaskan. "Isyan sedikit demi sedikit mulai belajar menerima keadaan. Merelakan semua kegagalan masuk SMA impian. Membiasakan diri berpikir positif, mungkin, Isyan gagal karena Tuhan punya rencana terbaik yang nggak pernah Isyan ketahui."

Satu air mata lolos dari benteng pertahanan ibunya. Dengan senyum haru yang belum meluntur, beliau kembali mendekap Isyana seraya membelai lembut kepala anak gadisnya.

Perasaan lega menyerbu benak gadis berambut sebahu tersebut. Ternyata, merelakan tidak semengerikan yang ia pikirkan. Alih-alih perasaan sesak di dada, yang ia rasakan justru kelegaan luar biasa. Kehangatan sontak menjalar di antara mereka berdua.

"Kalo Isyan berhasil masuk SMAN 8, besar kemungkinan Isyan nggak bakal ketemu Gita, Hana, Duta, sama Kelvien. Isyan juga nggak mungkin bersahabat sama mereka lalu menyatukan visi hidup bersama. Kalau udah begitu, Good Things nggak akan tercipta."

"Good Things?" Ibunya kembali menyoal seraya menyeka air mata secara kasar.

Mengangguk mantap, ia menceritakan berdirinya Good Things dengan nada bangga. "Iya, nama produk jualannya Isyan bareng temen-temen. Mangkannya, kalo dipikir ulang, beruntung banget Isyan bisa kenal sama mereka. Akhirnya, kami berlima menyatukan visi untuk membangun Good Things. Good Things berdiri dengan tujuan selain mencari keuntungan tapi juga berdonasi untuk orang-orang yang membutuhkan."

"Semangat, Syan. Niat kamu dan temen-temen udah baik. Jangan menyerah sebelum mewujudkan itu semua, ya." Sebelum menutup obrolan hangat kala itu, ibu sempat membelai lembut puncak kepala putri semata wayangnya penuh kasih sayang.

Tersenyum tipis, ia mengangguk singkat lalu mulai menarik langkah memasuki kamar. Isyana menghempaskan tubuh di ranjang seraya memejamkan mata.
Hari yang sangat melelahkan. Ia dan sahabat-sahabatnya membersihkan lapak Good Things hingga menjelang pukul delapan malam.

Namun, karena getaran pada ponselnya, gadis itu refleks membuka mata secara perlahan. Alih-alih melihat benda pipih persegi panjang tersebut, hal pertama yang Isyana tangkap justru bingkai foto keluarga kecil di nakas meja.

Tanpa sadar, ia tersenyum kecut.

Ah, foto itu ibarat mesin waktu Doraemon yang sukses membawa pikirannya berkelana jauh pada masa lampau. Keping fatamorgana itu tiba-tiba menyeruak ke udara. Berhamburan. Berusaha mengais lupa. Terlalu menyesakkan untuk dikenang.

All the Bad ThingsWhere stories live. Discover now