45. Sesal

155 49 18
                                    

"KALIAN DIBAYAR BERAPA SAMPE MAU BELI GOOD THINGS, HAH! SAMPAH! BUBAR NGGAK LO PADA? ATAU GUE SEMPROT SATU-SATU PAKE AIR COMBERAN?"

Antrian yang semula memanjang, kini berlari terbirit meninggalkan lokasi kejadian. Menyisakan kelima remaja yang memakai seragam putih abu-abu di balik stan.

Sementara itu, Hana tiba-tiba menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Tangisnya pecah di sana.

Inggita sontak menyorot murka gadis berambut sebahu tersebut. Senyum miringnya terkembang sempurna. Bahunya naik turun menahan keinginan untuk menjambak rambut Hana sekarang juga.

"Maksud lo apaan, Han, bohongin kita semua?" Sekali lagi, tawa hambar dari bibir Inggita meledak. Tatapan tajam dari kedua netranya itu belum terlepas dari satu titik. Hana Risjad.

Duta sontak meneguk ludah, kelu. Pandangannya terpaku pada sesosok gadis berambut sebahu yang terisak sambil menutupi wajah. Kilat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Duta meredup, tergantikan ketidakpercayaan dan kekecewaan penuh luka.

Kelvien membeku di tempat, tak tahu harus berbuat apa di situasi seperti sekarang.
Di satu sisi, ia juga terluka sama seperti teman-temannya akibat merasa dibohongi oleh Hana. Namun, di sisi lain ia tidak tega menyalahkan Hana sepenuhnya. Mungkin, gadis itu melakukan semua ini ada alasannya. Mungkin saja.

Maka dari itu, dengan suara tercekat dan tatapan kecewa, Kelvien memastikan. "Bener kata Gita, Han?"

Bungkamnya Hana menjadi titik terang segala kecurigaan keempat temannya. Gadis itu isak tangis dan bahu bergetar yang menjawab pertanyaan Kelvien. Mengerang kalut, Duta mengusap wajahnya frustrasi. "Jadi ... emang bener pelanggan Good Things ini karena lo nyewa mereka?"

Pemuda berahang tegas tersebut seketika mendecih dengan senyum miring. "Gue pikir ramainya pengunjung emang hasil dari jerih payah kita sendiri. Taunya ... karena uang Hana."

Bibir Hana seolah terkunci rapat untuk sekadar menjelaskan. Semua kalimat yang ingin ia utarakan hanya sampai di pangkal lidah. Kelu. Ia tak mampu menyangkal. Tak mempu pula mencari sebuah pembelaan. Memang seperti kenyataannya

"Cukup tau gue, Hana." Kalimat tersebut menjadi penutup Inggita untuk segera membalikkan tubuh lalu berlari menjauh dari stan Good Things. Sebelum sososoknya menghilang di tikungan jalan, ia sempat menoleh seraya mengulas senyum miring.

Entah dari mana datangnya keberanian tersebut, Hana tiba-tiba mendongak. Matanya memerah dibanjiri air mata. Hidungnya pun tak jauh berbeda. Kristal bening mengalir deras dari sana. Dengan suara parau dan tangis tertahan, ia pun menyahut, "Aku nggak bermaksud kayak gitu...."

Isyana yang sedari tadi memilih bungkam, kini angkat suara. "Nggak bermaksud gimana, Han?" selanya, sengit. Ia mengigit bibir bagian bawah kuat-kuat. Perasaannya carut marut merasa dibohongi dengan skenario Hana. Jadi, selama ini usaha mereka membangun Good Things sia-sia belaka?

Hana menggeleng cepat. "Bukan gitu, Syan. A-aku, aku cuma...." Ia memejamkan mata sejenak. Berusaha membendung air mata yang jatuh mengikuti gravitasi tanpa mau dicegah. Kalimat yang sedemikian rupa ia susun di kepala sekarang menguap begitu saja. Bibirnya lagi-lagi kelu. Ucapannya terbata-bata.

Mengusap wajah gerah, Kelvien lalu melayangkan tatapan kepada Hana intens. "Maksud kamu nggak bermaksud gimana? Jelas-jelas kamu kan yang nyuruh Om Risjad nyewa orang bayaran buat jadi pembeli Good Things? Aku kira ... setelah kamu berhenti mentraktir temen-temen SMP, itu tandanya kamu udah sadar, Han. Kamu sadar dengan nggak abis-abisin duit orangtua terhadap kesenangan-kesenangan pribadi. Ternyata, aku salah, ya. Aku yang terlalu naif."

Mendengar penuturan Kelvien, hati Hana tercubit. Layaknya sesuatu tak kasat mata yang menggoreskan luka cukup dalam. Perasaan bersalah kian menyudutkan gadis tersebut. Membuat napasnya pendek-pendek, penuh isak tangis.

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang