33. Proyek

212 69 20
                                    

Balkon rumah Hana yang menghadap ke kolam renang serta sepetak taman kecil di tengah ruangan sekarang resmi didapuk menjadi markas Good Things untuk membahas segala hal yang berhubungan dengan bisnis mereka. Mulai dari logo, kemasan, hingga tetek-bengek lainnya untuk melancarkan rencana.

Hana juga tidak merasa keberatan rumahnya disinggahi Kelvien, Isyana, Inggita, dan Duta. Lagipula, ia selalu merasa kesepian tinggal di rumah semewah ini hanya dengan satu pembantu serta satu supir pribadi. Hana justru senang balkon rumahnya dijadikan markas.

Seperti saat ini, ketika kelimanya tengah duduk membentuk lingkaran kecil di balkon rumah Hana, gadis berambut sebahu itu mengedarkan pandangan menatap serius satu persatu teman-temannya.

"Asli, gue kasian banget." Isyana menghela napas berat. Selepas pembahasan mengenai kemasan minuman yang telah rampung, kini kelima anak manusia tersebut memikirkan kembali perihal anak jalanan di perempatan lampu merah tadi.

Inggita menyetujui. "Gue jadi ngerasa beruntung nggak menghabiskan masa kecil dengan ngamen dan jualan koran di perempatan jalan. Gue masih bisa sekolah ... bahkan sampai SMA," komentar gadis tomboy itu dengan nada mengiba.

Kelvien mengangguk, pikirannya menerawang jauh pada kejadian di masa lalu. "Sebenernya, anak kecil tadi, tuh, hanya satu di antara sekian banyak anak kecil yang kekurangan serta hak-hak mengenyam pendidikannya dirampas secara paksa." Pemuda berkacamata itu mendesah panjang. "Gue masih inget banget waktu dateng ke perayaan ulang tahun temen SD gue di umur tujuh tahun. Kala itu, ketika anak-anak lain memilih merayakan pesta ulang tahun di restoran cepat saji atau perayaan besar-besaran di rumah, tetapi nggak berlaku bagi dia. Temen gue malah ngerayain ulang tahun di panti asuhan secara sederhana dan hanya mengundang temen-temen sekelas. Dari situ, gue sadar, ternyata masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih susah daripada gue."

Kelvien mengakhiri ceritanya dengan seulas senyum tipis.

"Bener banget lo, Kelv. Mereka---anak jalanan di perempatan lampu merah---nyatanya hanya sebagian kecil dari realitas sosial yang mampu kita temui. Di luar sana juga masih banyak yang membutuhkan bantuan. Memerlukan uluran tangan dari kita." Kali ini, Duta yang menimpali. Pemuda berahang tegas itu kemudian menyambar tas ranselnya yang tergeletak di dekat kursi malas. Mengeluarkan buku tulis untuk menyobek secarik kertas di bagian tengahnya, lalu tak lupa menggaet bolpoin. Secercah ide menyembul di atas kepalanya, bak bola lampu pada film-film animasi. Duta mulai merentangkan kertas tersebut di lantai lalu menuliskan Visi Good Things besar-besar pada bagian tengahnya.

Hana kontan mengernyit. "Buat apa, Ta?"

Dengan semangat membara, Duta mengungkapkan ide menariknya. "Visi usaha Good Things."

"Maksud lo? Tujuan kita bikin Good Things?" Inggita menyoal, berusaha memperjelas.

"Iyaps."

"Dapet duit?" timpal Kelvien, alisnya terangkat sebelah.

"Selain itu?"

Kemudian, hening melingkupi keadaan. Semua yang duduk di tepian kolam memikirkan kembali pertanyaan Duta. Mereka sibuk dengan pikiran maisng-masing 

Jika mendapatkan uang saja bukan hanya menjadi visi mereka mendirikan Good Things, lantas apalagi?

"Oh, aku tau." Suara lemah lembut Hana membelah kesunyian. Seluruh pasang mata kini terpatri pada gadis berambut sebahu tersebut. Setelah menimang-nimang jawabannya sesaat, Hana mengangguk mantap. Meyakinkan dirinya sendiri untuk memberi tahu jawabannya.

Memicingkan mata, ia mulai menembak. "Berdonasi untuk sesama?" tebaknya, sangsi.

Duta tiba-tiba bersorak riang. Matanya berkilat cerah mendengar jawaban Hana. "Bener banget!"

"Maksudnya gimana?" Inggita masih belum paham terhadap arah pembicaraan kali ini.

Bolpoin yang sedari tadi tergeletak di atas kertas kini mulai Duta gunakan untuk menorehkan visi Good Things.
"Jadi gini...." Pemuda berahang tegas itu mulai menjelaskan maksudnya.

"Nanti, 50% dari hasil penjualan Good Things kita donasikan untuk mereka-mereka yang enggak mampu. Bisa ke panti asuhan kayak Kelvien waktu kecil dulu, atau ke anak-anak jalanan, bisa juga kaum dhuafa, atau siapa pun yang membutuhkan."

"IDE BAGUS!" Isyana menanggapi pembicaraan dengan semangat menggebu. Antusiasmenya memompa puluhan kali lebih cepat tatkala indra pendengarannya menangkap kata 'berdonasi'. "Jadi, nanti buat pelanggan Good Things mereke nggak sekedar beli produk kita, tapi juga sekalian berdonasi. Satu jenis minuman yang mereka beli, akan disumbangkan 50% untuk mereka yang membutuhkan."

Senyum lebar Inggita mereka. "Gokil." Gadis berambut pendek itu mengangguk beberapa kali. "Gue setuju, sih. Di luar sana masih banyak orang yang membutuhkan uluran tangan dari kita untuk sekedar berdonasi. Kalau bisa membantu antar sesama, kenapa enggak?"

Perasaan Kelvien menghangat mendengar visi Good Things yang bersahut-sahutan digaungkan oleh teman-temannya. Membantu antar sesama. Tentu saja hal yang positif, bukan? Selain ia mendapatkan keuntugan dari proyek ini, Kelvien juga mampu belajar menjadi orang yang dermawan dan tidak apatis terhadap lingkungan sekitar.

"Gimana, Kelv, Han?" tanya Duta seraya mengalihkan tatapan ke Kelvien dan Duta secara bergantian.

Mereka berdua mengangguk kompak. Terlebih, Hana yang memiliki hati sangat sensitif. Hal tersebut sukses membuatnya merasa iba jika melihat segala sesuatu yang menyedihkan. Tidak terkecuali, anak-anak jalanan di perempatan jalan sepulang sekolah.

"Nah, kenapa kita nggak mendonasikan 50% hasil penjualan kepada mereka yang membutuhkan?" Sebelum menjelaskan panjang lebar idenya di depan Isyana, Inggita, Kelvien, dan Hana, Duta mengulum senyum lebar.

"Karena sadar atau enggak, itu tujuan hidup kita sebagai remaja."

Isyana sontak bergeming, tampak tak asing dengan percakapan tersebut.

"Masa remaja menurut gue nggak lantas dihabiskan dengan seneng-seneng yang menjerumus ke lubang hedonisme. Percuma aja. Kita nggak akan menemukan kebermaknaan hidup di sana. Justru yang ada merasa bosen dan sia-sia belaka. Pada hakikatnya, kebermaknaan manusia itu ketika ia mampu bermanfaat bagi sesama."

"Nah, bermanfaat. Itulah kuncinya. Menjadi insan yang mampu membawa pengaruh bagi masyarakat dengan mengabdikan hidup melalui pengetahuan atau sumber daya yang dimiliki," gumam Isyana seraya meneguk salivanya.

"Kesuksesaan juga nggak melulu membicarakan tentang seberapa besar kekayaan yang kita miliki, tetapi seberapa besar pengaruh kita bagi masyarakat. Memberdayakan mereka. Memanusiakan manusia." Kali ini, Kelvien yang angkat bicara menyuarakan unek-uneknya sepuluh  tahun yang lalu tatkala mengunjungi panti asuhan untuk kali pertama.

Hati Duta membuncah perasaan bahagia tatkala teman-teman barunya memiliki prinsip hidup yang sama. "Setuju banget sama kalian. Selama ini gue selalu mencari makna ... 'sebenernya tujuan hidup gue apa, sih?'. Akhirnya, sekarang gue telah menemukan itu."

Hana yang sedari tadi hanya menyimak, kini angkat suara. "Aku nggak keberatan nanti kalau hasil bagianku buat kalian semua. Serius, deh. Aku nggak mau nerima laba."

Penuturan gadis berambut sebahu itu sontak membuat keempat anak manusia di sekitarnya membelalakkan mata.

"Serius lo, Han?"

Hana mengangguk yakib. "Iya, aku nggak perlu. Jadi, nanti laba-nya dibagi berempat, ya."

Isyana dan Inggita yang posisinya memang bersebelahan dengan Hana, refleks memeluk gadis berambut sebahu tersebut erat. "Makasi banyak, Hana."

Sebagai tanggapan, Hana hanya terkekeh pelan.

"Guys, aku nemu visi baru juga, nih, buat Good Things," celetuk Kelvien tiba-tiba.

"Apa?"

"Membantu pemerintah mengurangi pengangguran. Kalau semisal Good Things namanya sudah besar, kita rekrut pegawai. Dari situ, secara nggak langsung bisa membuka lapangan pekerjaan."

Senyum kelima anak manusia itu merekah bahagia.

Dari sinilah perjuangan mereka dimulai. Tentang hubungan persabatan, perjuangan, dan pengorbanan untuk mampu meraih impian bersama. Memanusiakan manusia. Mengabdikan hidup untuk masyarakat.

______

All the Bad ThingsWhere stories live. Discover now