Kebakaran Di Gedung Peresmian

305 47 13
                                    

     "Jika tidak ada yang siap untuk ikut berperang bersama kami, silahkan memisahkan diri!" ucap pria itu tanpa sekalipun terseyum.

     Beberapa orang terlihat memisahkan diri dari kumpulan yang sudah dibuat. Sizan tertawa lepas karena bisa lolos dari cengkeraman para tentara itu.

     "Kenapa hanya diam di sini? Kau tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini Zehhad," bujuk Sizan sembari menarik lengan Zehhad untuk pergi.

     "Aku akan ikut berperang," jawab Zehhad yang tampaknya membuat Sizan terkejut.

     "Apa! Kau bercanda? Dengarkan ini, kita dipaksa untuk berperang. Perang tidak ada yang dibayar dengan uang, melainkan nyawa. Memangnya kau mau mati sia-sia? Ingat Shela Zehhad. Dia pasti sedang menunggumu sekarang."

     "Meskipun dibayar dengan nyawa, aku akan tetap melakukannya karena ini adalah pilihanku. Sesuai dengan namaku, Zehhad atau Zihad. Aku akan berperang bersama mereka."

    "Kau gila? Ini perang bukan permainan."

     Beberapa orang sudah memisahkan diri dari kumpulan yang disiapkan. Zehhad tersenyum manis berharap apa yang dia lakukan akan berdampak positif bagi Shela. Ia merindukan Shela, merindukan Shabir dan juga merindukan keadaan Palestina yang seperti dahulu.

     Borgol-borgol yang mengunci tangan mereka dilepaskan begitu saja oleh para tentara. Berbeda dengan perkumpulan yang tidak siap untuk berperang. Borgol di tangan mereka masih setia mengunci.

     "Baiklah, bawa masuk mereka semua!" ucap pria itu membuat para tentara mendorong mereka yang siap untuk berperang dengan penuh paksaan.

     "Hei-hei! Tunggu. Aku tidak ikut berperang," berontak Sizan karena ia terlambat untuk memisahkan diri.

     "Sudahlah, terima saja," ucap seorang pria di sampingnya.

     Sizan pun membuang senyumnya dan berganti dengan ketidakpuasan. Ia murung dan tidak mau berbicara dengan orang lain. Bola matanya berulang kali mendelik berusaha untuk mencari jalan untuk kabur. Tetapi di setiap sisi dijaga para tentara, alhasil dia hanya dapat pasrah menerima semua kedaan itu.

      Mereka menatap setiap ruangan yang dilewatinya. Terlihat menyeramkan dan tidak membuat betah. Berulang kali Sizan menarik lengan Zehhad untuk pergi bersamanya, tetapi Zehhad menolak dengan alasan yang sama.

     Mereka semua berhenti melangkah dan berdiri mematung di depan sebuah tempat latihan. Pria yang tadi berbicara kembali ke depan dan menatap wajah-wajah yang siap untuk berperang.

     "Assalamualaikum," katanya sembari tersenyum senang.

     Mereka semua saling tatap dan akhirnya menjawab salam pria itu. Karena sejujurnya mereka tidak mengetahui kenapa baru kali ini pria itu mengucapkan salam, sedangkan waktu di luar hanya berbicara dengan sangat menakutkan tanpa salam.

      "Kalian akan dibimbing untuk menjadi pemegang senjata yang hebat, bukan takut kepada lawan. Di sini tidak ada ada permusuhan, tidak ada saling mementingkan diri sendiri. Kami di sini saling tolong menolong. Jika kalian melanggar aturan yang telah kami terapkan, maka kami tidak akan segan untuk menembak mati kalian." Pria itu berlalu dan meninggalkan mereka dengan sejuta kebingungan.

      "Zehhad, sepertinya kau menyukai ini," gumam Sizan sebelum akhirnya seseorang mendorongnya ke depan.

      Seorang tentara memberikan pistol dan Sizan menerimanya. Ia berulang kali menatap sekeliling karena bingung apa yang harus ia lakukan. Tentara itu menggerakkan jari telunjuknya kepada sebuah target. Sizan menatapnya bingung, antara takut dan tidak percaya diri membuatnya sulit untuk bergerak.

      "TEMBAK!" bentaknya yang sontak membuat Sizan secara refleks menarik pedal senapan dan pelurunya melesat begitu saja tanpa mengenai target.

      "Tidak bisa diandalkan!" ucap tentara itu sembari merebut pistol yang dipegang Sizan dan mendorongnya hingga mengganti posisi Sizan dengan orang lain.

      Zehhad menatap Sizan yang mengeluh. Sizan membenarkan sorban di kepalanya lantas menatap ke depan, menyaksikan beberapa orang terkena marah sama seperti apa yang dia alami.

      "Sekarang kau yang akan ke depan! Semoga berhasil," ucap Sizan lalu mendorong Zehhad hingga menghampiri tentara yang memarahinya.

      "Jangan melihat ke belakang!" ucap tentara itu ketika Zehhad menoleh pada Sizan. Zehhad mengangguk kemudian menerima pistol yang diberikan tentara itu.

      "TEMBAK!"

      Zehhad menarik pedal pistol namun ia mengurungkan niatnya. Pistol itu ia hadapkan ke bawah dan Zehhad menunduk lesu.

      "Aku tidak bisa melakukanya." Zehhad memberikan pistol yang dipegangnya pada tentara itu.

      "Jangan bermain-main denganku." Tentara itu kembali memberikan pistol pada Zehhad namun Zehhad menolaknya.

      "Maaf, aku tidak bisa menembak dengan tepat."

      "Kau belum mencobanya, lakukan sekali saja."

      Zehhad menerima pistol itu dan mengarahkannya pada target yang berada di depan mata. Ia menutup mata, kemudian jari telunjuknya menarik pedal pistol dan;

      Brak!

      Semua mata terarah pada pintu yang terbuka. Zehhad menurunkan pistol yang dipegangnya dan berbalik, menatap beberapa pria yang berjalan dengan membawa senapan.

       "Lapor! Terjadi kebakaran di gedung peresmian," ucap salah seorang pria pada tentara yang berdiri di samping Zehhad.

      "Semua, ikut dengan kami!" Tentara itu meninggalkan Zehhad dengan pistolnya.

      Zehhad segera berlari menghampiri Sizan dan mereka berdua mengikuti perkumpulan itu. Beberapa mobil menyambut kedatangan mereka. Zehhad kembali menatap langit yang penuh dengan asap. Ia menarik napas panjang lalu melangkah masuk ke dalam mobil itu.

     "Kau juga ikut berperang?" tanya Sizan setelah melihat Nabilla berada di dalam mobil yang sama.

     "Ya, aku harus menyelamatkan kakakku yang dibawa mereka."

     Mobil itupun berjalan meninggalkan tempat kemiliteran. Zehhad menatap ke belakang, menyaksikan beberapa orang yang tidak ikut berperang sedang diam di bawah lampu penerangan. Ia menunduk sembari mencoba untuk berfikiran positif. Sekarang ia sedang dalam perjalanan untuk membela tanah air dan agamanya.

      Sinar rembulan yang tertutup awan tidak lekas membuat mobil itu berhenti. Asap yang semakin banyak membuat mereka menutup mulut dan hidung agar tidak memberikan udara yang kotor kepada paru-parunya.

       Mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah tempat yang dilindungi beberapa mobil polisi. Zehhad turun dari dalam mobil itu dan menatap apa yang menghalangi padangannya.

      "Masuk dan cari tahu kenapa gedung ini bisa terbakar!" teriak pria yang selalu berbicara itu dari atas mobil.

      Mereka semua berlari memasuki gedung yang sedang terbakar api. Zehhad berjalan sambil menatap sekitar. Ia sebenarnya takut untuk masuk dan bertemu api. Tetapi karena pilihannya, Zehhad harus siap dengan bahaya yang akan ditemuinya.

      "Aku ikut denganmu," pintanya pada Sizan.

     "Kau yakin?"

     "Ya, selain Nabilla hanya kau yang aku kenal di sini."

     "Zehhad, kau tahu aku tidak bisa menembak. Aku hanya akan menyulitkanmu nanti. Lebih baik kau ikut dengan yang lain saja."

     "Aku juga sama sepertimu. Sizan, tolong izinkan aku untuk ikut denganmu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di sini."

      Sizan menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengangguk. Mereka lekas berlari disusul Nabilla yang juga ikut berlari bersama mereka memasuki area tangga darurat yang sangat gelap. Tidak ada satupun lampu yang menyala untuk mengusir kegelapan. Semua sama dengan keadaan di luar. Cahaya rembulan hilang ditelan hitamnya asap. Langit Palestina tidak lagi indah, hanya penuh dengan asap yang menyesakkan.

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang