Pidana atau Pergi

147 20 1
                                    

     Mentari masih bersinar menggulung waktu menjadi lebih cepat. Keringat kecil mulai bercururan dari dahi Zehhad. Sesegera mungkin ia mengusapnya dan melanjutkan perjalanan dengan cepat.

     "Tunggu!" ucap pria itu menghentikan langkahnya. "Kenapa buru-buru sekali? Padahal ini baru jam delapan lebih seperempat."

     "Allah menjelaskan beberapa kali tentang waktu di dalam Al-Qur'an. Al-Fajr, Ad-Dhuha, At-Tin dan di dalam surah Ar-Rahman, Allah berkata; ‘manakah nikmat tuhanmu yang kamu dustatakan?’. Allah mengajarkan kita betapa pentingnya waktu. Maka dari itu, aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu meskipun waktu yang kita butuhkan dua jam lagi."

     Pria itu mengangguk dan melanjutkan kembali perjalanannya. Langkah mereka berdetak, menghidupkan jantung dunia. Langkah dengan niat yang sangat baik itu dapat mengubah semuanya. Di sana, dunia dapat kembali tersenyum. Ia dapat merasakan masih adanya ketulusan, bukan konflik yang entah kapan akan terselesaikan. Banyak Negara yang berkonflik dengan rakyatnya sendiri dan itu semua kapan akan terselesaikan? Pantaskah dunia menjadi tempat awal sebuah peperangan?

     "Aku yakin kita akan bisa melewati para penjaga itu. Tetapi kau tahu kan, masuk tanpa izin itu dilarang."

     "Aku tidak peduli dengan larangan-larangan yang tidak ad mamfaatnya. Aku akan menerobosnya, membiarkan semua duka hilang dari tempatnya."

      Pria itu hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sikap Zehhad yang tidak kenal dengan rasa penyerah, penat ataupun bosan. Ia akan tetap seperti itu, membukakan dindinf tebal meskipun dengn tangan kosong dan membiarkan cahaya masuk ke dalam.

       Waktu sepertinya saat ini sedang berpihak pada mereka. Zehhad berjalan menyelinap dan bersembunyi di balik mobil yang terparkir di sana. Begitupun pria itu, ia akan menurut pada rencana Zehhad. Rencana yang seperti akan sulit untuk dilakukan.

     "Pukul berapa sekarang paman?" ucap Zehhad sedikit berbisik agar tidak menimbulkan curiga bagi para penjaga.

     "Sembilan kurang."

     "Bagus, satu jam lagi."

     "Zehhad. Sebenarnya ini sangat beresiko besar. Kau baru saja sembuh dari sakitmu, aku tidak yakin semua ini akan berhasil."

      "Paman, nabi Muhammad Saw saja selalu berusaha untuk menyebarkan agamanya walaupun banyak penghinaan. Masa aku harus menyerah dan tidak mengikuti apa yang telah Rasulullah ajarkan?" Zehhad menarik napasnya sebentar. "Di dalam agamamu juga ada ajaran mengenai percaya dan sabar kan paman? Jadi, kenapa perlu takut jika kau belum mencobanya."

      Oke, sudah cukup pria itu mendengar Zehhad berkata padanya. Ia menatap ke depan, memerhatikan dua orang penjaga yang berdiri di sana. Tidak ada gerakan, hanya diam seperti patung pajangan. Mereja diam, tetapi sangat peka terhadap hal di sekitarnya.

      "Bagaimana kita akan melewatinya jika penjaga itu diam di sana?" keluh pria itu sebelum akhirnya awan mulai menutup dan memberikan teduh yang menyejukkan.

      "Ini pasti akan berhasil paman. Pukul berapa sekarang?"

      Pria itu kembali menilik jam di lengan kirinya, "Sembilan lebih 45 menit."

      "Bersiaplah paman, rencanaku pasti akan berhasil."

      Mereka mendelikkan matanya saat seorang penjaga mulai bergoyang dan berjinjit pada tempatnya. Zehhad menoleh pada pria itu dan menukar senyum. Beberapa mobil mewah datang dan membuat para penjaga terpogoh-pogoh membuka gerbang.

      "Ayo paman!"

      Zehhad merangkak dan menunduk. Ia berjalan di samping mobil yang masuk, begitupun pria itu. Hingga pada saat mobil itu berhenti Zehhad segera menelungkupkan wajagnya dan masuk ke kolong mobil. Lengan kirinya kembali berdenyut saat aspal tidak sengaja merobek lukanya.

PALESTINAWhere stories live. Discover now