-14-

245K 15.7K 1.5K
                                    

Tandai typo dan kejanggalan.

Coba ceritakan keuwuan kalian disini. Aku pengen nangis meratapi kejombloan ini.

Heboh bener part kemarin. Dasar kalyan!

❄❄❄

Baiklah, aku akan mulai dengan menceritakan kejadian hari sabtu selanjutnya di rumahku. Pak Satria dan keluarga akhirnya mengunjungi keluargaku secara resmi.

Seperti lamaran pada umumnya, kami semua berpakaian sedikit formal. Lelaki memakai batik dan perempuan memakai kebaya. Aku tidak menyangka hari seperti ini akan tiba dengan cepat.

Hari Jum'at siang aku diantar oleh Pak Satria ke Bogor. Terpaksa absen dari satu kelas yang syukurnya masih ada jatah tidak hadir. Aku malas mengganti kelas, hehe.

Sebenarnya aku tidak ingin merepotkan tapi Pak Satria kekeh akan mengantarku pulang. Yasudah aku terima saja tawarannya, hemat ongkos juga kan.

Awalnya kupikir acara lamaran tidak akan se formal ini, karena ini hanya lamaran antar keluarga kan? Saat Mbak Indah dan Mas Ibram lamaran perasaan tidak sebegininya?

Terlebih saudara-saudara ibu dan ayah yang tidak terlalu banyak datang semua ke rumah di hari sabtu pagi.

Usut punya usut, setelah ditelisik ternyata acara ini akan menyambi dengan pertunangan. Mengapa harus ribet sih? Cuma tukar cincin doang, waktu nikah kan juga tukar cincin?!

Asli aku gak paham dengan jalan pikir orang tua. Aku tau otak dibalik semua ini bunda, tapi tetap saja ini berlebihan. Aku kira acara lamaran yang dimaksud hanya datang ke rumah dengan keluarga inti, berkenalan, mengutarakan niat, makan bersama, sudah!

Taunya malah undang-undang orang segala. Aish.

Aku sudah siap didandani Mbak Indah, baju kebaya berwarna soft blue dan make up tipis sesuai permintaanku. Aku tidak suka suatu hal yang berlebih.

Tepat tiga puluh menit usai didandani, keluarga Pak Satria tiba di rumahku. Aku bersyukur setidaknya rumahku cukup menampung orang-orang ini. Aku keluar dan melihat Pak Satria dengan baju batik dan celana bahan berwarna hitam. Ah bukan suatu hal yang spesial sebenarnya karena aku sudah pernah melihatnya menggunakan batik saat mengajar. Tapi entah mengapa Pak Satria terlihat berbeda hari ini, ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.

Entah suatu kebetulan atau lagi-lagi sudah direncanakan, lamaran dan pertunangan hari ini bertemakan biru. Keluarga Pak Satria dengan seragam birunya, begitu pula denganku.

Gia yang tadinya bersama Rena malah berlari ke arahku. Aku menyambutnya, memeluk tubuh kecilnya. Gia terlihat cantik dengan gaun biru tanpa lengan miliknya.

"Papa, lihat! Mama sangat cantik." Ujar Gia membuat wajahku memerah.

"Ekhm," para terua berdehem tanda acara akan di mulai. Aku membiarkan Gia duduk di sampingku. Karena gugup, akupun menggenggam tangan kecilnya. Dia tersenyum seolah memberi kekuatan.

"Kita mulai saja," suara Om Andre mengawali acara.

"Saya serahkan pada anak saya, Satria."

Detak jantungku memompa kuat saat Pak Satria menatapku sejenak sebelum beralih pada ayahku.

"Seperti yang sudah saya utarakan minggu lalu, saya datang kemari dengan keseriusan untuk menjalin hubungan dengan Kiana. Saya ingin menjadikan Kiana teman hidup, saya ingin Kiana menjadi pendamping saya kala susah dan senang, saya ingin menjadikan Kiana sosok ibu untuk Gia dan pastinya anak kami kelak. Tapi saya tidak bisa menjanjikan air matanya tidak akan luruh, saya tidak bisa menjanjikan dengan pasti bahwa dia akan bahagia, yang saya bisa janjikan hanya saya akan berusaha membahagiakan Kiana dan juga mengupayakan air mata yang jatuh bukan dari kesedihan. Kiana Novelandra, tepat di hari Sabtu tanggal 6 Juni ini saya melamar kamu sebagai istri saya dan meminta izin kepada Ayah untuk mengambil alih tanggung jawab atas Kiana." Ah benar, dia tidak bisa menjanjikan aku tidak akan menangis. Karena tepat di akhir kalimatnya mataku mulai berkaca-kaca. Aku mengadahkan kepala sejenak menghalau air mata agar tidak turun.

KIASA [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang