-22-

221K 15.8K 1.2K
                                    

Tandai typo dan kejanggalan.

Jadi aku sudah di part yang lumayan jauh. Nah penjabarannya udah gak lagi Pak Satria tapi Mas Satria. Tapi aku malah ngerasa kok jadi cringe.

Tapi lagi, ini kan sudut pandangnya Kiana jadi mau gak mau ya kalau Kiana udah sepenuhnya manggil Mas ya semuanya ngikut manggil Mas.

Ya gak?

❄❄❄

Pukul sepuluh nanti ada matakuliah Pak Satria. Tepat pukul delapan aku sudah berkutat kembali di dapur. Dua bibi yang biasa dirumah masih diliburkan entah sampai kapan. Jadi ya nikmati saja, biasanya juga masak sendiri jangan sok jadi ratu deh pengennya dimasakin.

Bayangkan betapa repotnya aku jika memasak, Pak Satria tidak suka pedas sedangkan aku sangat suka pedas. Jadi pagi ini aku harus memasak dua porsi nasi goreng yang berbeda, satu tanpa cabai untuk sang baginda dan satu extra cabai untukku. Maaf, kali ini aku tidak akan mengalah dan memilih lelah.

Setelah menghidangkannya, aku kembali lagi mengurus baju si bapak yang manjanya kebangetan. Mengambil setelan kemeja dan celana bahannya. Aku sudah lebih dulu mandi tadi, jadi tinggal merapikan rambutku dan memoles wajah.

Jarak kampus dan rumah yang cukup jauh ditambah kemacetan ibukota membuatku terpaksa terburu-buru. Aku keluar kamar membiarkan Pak Satria memakai bajunya, membuatkan kopi untuknya. Kali ini kopi hitam pekat, jiwa bapak-bapak sekali.

Dia turun dengan setelan yang lebih rapi. "Pakai jas dan dasi juga?" Tanyaku merasa bingung. Ah ya aku lupa jika begitu lah style ala Pak Satria yang kadang melebihi rektor kampus.

"Setelah mengajar saya harus ke kantor." Aku mengangguk paham.

"Trus nanti saya pulangnya gimana?" Aku teringat jarak rumah yang jauh pasti akan membuat ongkos ojol mahal, duit jajan saja belum ngalir.

"Ke rumah Bunda dulu sama Rena. Nanti saya jemput disana, sekalian membawa Gia pulang." Ah ya gadis kecilku.

Selesai makan aku bergegas mengambil tasku dan menyusul Pak Satria yang sudah lebih dulu masuk mobil.

Pak Satria mengendarai mobilnya dengan tenang. Sekitar sepuluh menit berlalu dia mulai berbicara lagi.

"Kamu tidak minta uang saku?" Tanyanya.

"Saya menunggu kepekaan saja, Mas." Iya aku nunggu doi peka saja kalau kuliah butuh jajan untuk makan siang.

Pak Satria mengangsurkan sekeping kartu berwarna hitam. "Ini, pakai untuk keperluan kamu."

"Yang biasa aja gak ada, Mas?" Iya kalau yang itu takut khilaf, lagian aku tidak paham kartu hitam itu hanya bisa digunakan untuk gesek saja atau bisa tarik tunai juga?

"Ada, saya cuma nguji saja kamu matrenya serius apa bercanda." Dia ini kalau nge-jokes gak pernah nyampe, alias garing.

"Saya akan transfer setiap bulan sesuai kebutuhan kamu, pinnya tanggal pernikahan." Aku mengangguk paham dan menerimanya.

"Terimakasih." Ini kami seperti sedang menyetujui kontrak kerja. KAKU BANGET?!

Satu jam perjalanan kami baru tiba di kampus, pukul 9.45.

"Salim!" Katanya menyodorkan tangan saat aku akan keluar dari mobil.

"Yaelah Pak, ribet banget." Kataku protes.

"Pak?" Mulai lagi nih.

"Kan di kampus, hehe." Aku membela langsung mencium tangannya dan hendak bergegas keluar lagi tapi malah ditarik.

KIASA [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang