Bab 3

452 334 599
                                    

Insecure itu wajar. Yang gak wajar itu insecure terus mundur lalu jadi lebur.

...

"Eh buset banyak bener." Al terkejut melihat banyaknya daftar nama peserta yang mencalonkan sebagai perwakilan olimpiade sekolah.

"Iya, tahun ini jadi banyak banget. Perasaan tahun lalu gak sebanyak ini," sahut Rehan.

"Gue jadi makin insecure, Han," ucap Al dengan lesu.

"Najis banget lo pake insecure - insecure-an segala, kayak cewek!"

'What? Gue? Disebut kayak cewek?! Bukanya insecure itu hal yang wajar dialami oleh semua makhluk bumi?'

Dan inilah Rehan. Kadang baik, kadang jahat. Kadang manis, kadang sadis. Kadang ucapannya meyakinkan, tapi juga kadang menyakitkan. Yha ... mau tak mau Al harus menerimanya dengan lapang dada.

"Lo kalo ngomong tuh kadang mulutnya minta dipelintir, ya!" gemas Al, "Nih ya, insecure wajar dialami oleh semua makhluk bumi. Gak selalu cewek doang. Bahkan mungkin semut aja pernah insecure karena gak bisa terbang kayak lebah. Yang gak wajar itu, insecure, terus mundur, abis itu jadi lebur." lanjut Al.

Al menarik napasnya. "Gue tadi bilang kalo gue insecure itu karena gue ngerasa gue lagi ada di titik lemah gue, di titik dimana gue ngerasa gue gak bisa apa apa. Meski begitu, sesering apapun seseorang bilang insecure kalo dalam diri dia punya rasa percaya akan dirinya sendiri. Pasti dia bakal anggap rasa insecure dia itu sebagai angin lalu."

Rehan terdiam, 'Apa ini beneran Al?'

"Apa? Gak percaya kan lo kalo gue sebijak ini? Iya, gue juga sama."

"Thulul." Rehan mengusap dadanya.

Al menghiraukan Rehan, matanya kini memandang ke sekeliling. "Kak!"

Seseorang yang dipanggil oleh Al pun menoleh lalu menghampiri Al. "Iya, kenapa?"

"Kakak salah satu orang yang ngurusin olimpiade ini, kan? Kalo boleh tau ini seleksinya kapan ya?" tanya Al dengan sopan.

"Untuk seleksi akan dilaksanakan pada hari senin depan pukul delapan pagi. Jadi, mohon dipersiapkan dari sekarang. Entah itu wawasan ataupun izin kepada guru yang bersangkutan. Untuk informasi selengkapnya akan dijelaskan sebentar lagi oleh panitia yang bersangkutan." Jelasnya.

"Oh iya terimakasih, kak," ucap Al dan Rehan serempak.

Kakak itu pun terseyum seraya mengangguk ramah, lalu ia pergo ke tempat semulanya.

"Berarti seminggu lagi dong?" tanya Al dengan tatapan kosong yang diangguki oleh Rehan.

"Apa masih sangat banyak materi yang belum gue pahami, Han?" tanya Al.

"Sangat banyak."

"Apa gue beneran bisa?"

***

"Pfftt!! Percuma belajar, otak lo lemot!" ledek Bayu, mengganggu Al yang sedang sibuk dengan buku matematikanya.

Al beranjak dari duduknya, mendekap buku yang sedari tadi ia baca dan pelajari. Al pergi tanpa sedikit pun melirik ke arah Bayu.

Al tahu, ia adalah orang bodoh, susah mengerti pelajaran. Tapi, setidaknya Al memiliki daya juang. Al ingat, sangat ingat. Hari itu, ada seorang motivator yang membuat video 'Mengapa kepintaran seseorang itu menurun?'

Dari video tersebut, Al dapat menarik kesimpulan bahwa tidak ada kepintaran orang yang menurun atau pun meningkat. Yang ada hanya lah meningkat dan menurunnya daya juang.

Seseorang yang saat di bangku sekolah dasar selalu mendapat ranking kelas, lalu saat memasuki bangku sekolah menengah atas ia tak lagi menjadi pelajar pintar. Bukan, bukan karena kepintarannya yang menurun, tapi daya juangnya lah yang menurun. Ia merasa pintar, merasa telah pintar, sehingga berhenti berjuang. Padahal, di luar sana ada orang dengan kapasitas otak minim, tapi tak pernah berhenti berjuang. Alhasil, dia lah yang menang.

Karena pada dasarnya, yang menjadi pemenang dalam perlombaan kehidupan itu bukan siapa yang mencapai hasil paling awal, tapi siapa yang berjuang hingga akhir.

Al meneguhkan hatinya, membulatkan tekadnya, serta membulatkan niatnya. Al mendaratkan bokongnya pada kursi di perpustakaan. Ia berusaha melupakan apa yang Bayu katakan, Al menarik lalu membuang nafasnya. "Aku bisa!" teguh Al, pada dirinya.

***



Al KhawarazmiHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin