24. Seperti Embun Pagi

147 37 62
                                    

Sica terbangun dalam keadaan bingung sebelum ia menyadari ia bermalam di rumah Saka.

Malam tadi tidak bagus. Sica pikir Saka aman-aman saja, dalam artian tidak akan membuatnya kacau seperti Rissa, Tama atau ayahnya. Saka justru membuatnya kacau jauh lebih buruk dan kekacauan itu berada di hatinya. Tidak di impiannya, tidak di kebebasannya, tidak di pertemanannya. Kekacauan itu mengaduk-aduk hatinya seperti badai di tengah samudra. Luas, gelap, dan bergejolak. Menenggelamkan apa pun termasuk perasaannya sampai-sampai ia merasa buta. Apa yang sebenarnya ia rasakan? Kepada siapa sekarang? Benarkah itu pernah? Lalu menjadi, bagaimana jika .... yang panjang. Seperti seandainya jika Saka mengatakan itu ketika ia benar-benar merasakannya sekarang. Tidak ada kata pernah. Bagaimana?

Ia mengusap wajahnya dan sadar bahwa ia tidak menangis. Sekalipun malam tadi ia benar-benar ingin tapi kehadiran Saka menahannya. Ketika ia ingin menangis sekarang, ia tidak bisa. Itu menyiksa.

Pintu kamar diketuk sekalipun Sica tahu itu tidak dikunci.

"Iya?" Suaranya terdengar tegar.

Saka menyembul di balik pintu. "Udah bangun?"

Keadaan kamar gelap ketika Sica mencoba melihat jam dinding. "Jam berapa sekarang?"

"Setengah lima, kurang."

"Oke." Tubuh Sica kembali merosot ke kasur.

"Lo harus pulang." Saka berjalan masuk, membiarkan pintu terbuka lebar.

"Nggak mau...," cicit Sica.

"Kita harus sekolah, Ca." Saka berdiri di sisi kasur.

"Lo kayak papa." Sica menarik selimutnya lalu bergelung. "Apa-apa dikata harus."

"Emang harus."

"Gue males sama lo."

Sica memejamkan matanya. Tidak peduli ketika Saka berdecak. Ia tidak ingin ke sekolah, lagi. Tidak setelah kemarin. Setelah Rissa tidak ada, kelasnya bagaikan sebuah planet tidak dikenal dan berbahaya. Sica seperti alien kecil yang tersesat dan siap diburu oleh penduduk setempat. Kelasnya jadi semakin mengerikan ketika istirahat tiba dan teman-teman kelasnya saling berkelompok. Seperti geng kecil yang kompak sedangkan Sica tidak punya siapa-siapa. Rissa bergabung di antara kelompok anak perempuan tanpa canggung dan diterima dengan baik. Telinganya jadi terasa panas tiap orang-orang menatapnya lalu memunggunginya, entah untuk membicarakannya karena telah ditinggalkan Rissa atau apa. Itu tidak menyenangkan. Menjadi sangat asing padahal ia sudah menetap di kelas itu hampir setahun sama sekali tidak enak. Sica seperti diperlakukan tidak pernah ada, padahal ia yakin tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk.

"Bokap lo nyuruh lo pulang."

"Gue nggak mau."

"Ca." Saka mengembuskan napas. "Bokap lo khawatir."

"Bohong."

"Bokap lo nyariin lo, Bang Riga yang bilang," ucap Saka. "Dia sampe nyuruh abang lo buat nyariin lo kalau perlu sampe tengah malem. Bang Riga belum ngasih tau waktu itu."

Saka menarik napas, menatap Sica yang membungkus kepalanya dengan selimut seolah ingin menolak apa pun yang akan Saka katakan.

Satu Waktu Ketika RemajaWhere stories live. Discover now