26. Sesuatu yang Hilang

161 37 62
                                    

Di Recycle Bin Sica menemukan Cherrio.

Mudah saja untuk membuat semuanya kembali. Dan dalam waktu-waktu itu, Sica berharap kehidupannya dapat bekerja seperti komputer. Semua orang dalam hidupnya akan menjadi fail-fail yang berada dalam bermacam folder bernama: Keluarga, Teman, Sahabat, atau Orang-Orang Hanya Nama, Orang-Orang yang Disayang, dan Orang yang Tidak Disayang. Jika salah satu fail di sana terhapus dan hilang, Sica tahu harus mencari ke mana. Mereka akan mudah ditemukan. Sica tidak perlu bersusah payah untuk mengembalikan mereka. Sica tidak perlu khawatir, Sica tidak perlu bersedih.

Namun kehidupan tidak memberinya tempat istimewa seperti itu.

Sekarang ketika Sica duduk kembali menatap layar laptopnya, Cherrio sudah kembali. Dan Sica terlalu terkejut akan kehadiran Riga di sisinya sampai-sampai ia refleks menutup laptop. Riga mengernyit.

"Kenapa ditutup? Udah selesai?"

"Eh, anu, aku pikir siapa. Kakak datengnya diam-diam."

"Emang kamu pikir siapa?" tanya Riga. "Buka aja lagi. Jangan sembunyi."

"Eh?"

Riga membukakan laptop Sica. "Gimana nggak sendirian kalau kamunya sembunyi mulu. Katanya mau ada yang kenal? Katanya mau punya teman?"

"Aku lupa pernah ngomong kayak gitu."

Riga menggaruk alisnya. "Ah, pokoknya jangan sembunyi lagi!"

Sica baru membuka mulutnya saat suara Safa berteriak, "RIGA, TOLONG ITU SIAPA YANG NGETOK-NGETOK PINTU. Waalaikumsalam, iyaaa, sebentar, yaa. RIGA."

Riga menatap keluar kamar dan berdiri. "Bentar, ya, Ca."

Sica menghidupkan lagi laptopnya dan membuka Cherrio, cerita di sana menggantung dan rasanya ada yang aneh. Jangan sembunyi, kata Riga. Jemari Sica menggulir kursor, membaca tulisannya dari awal. Arkan di tulisannya punya perubahan sikap yang aneh. Ada adegan yang terlihat tidak masuk akal dan tidak punya latar belakang yang jelas. Ada beberapa kata yang terulang, dan Sica menggerakkan jemarinya untuk memperbaiki. Setelah selesai dengan kata berulang, dan memandangi lagi laptopnya dengan tenang, tiba-tiba saja Sica mendapat dorongan untuk kembali menuliskannya, dari awal. Ada banyak kesalahan, Sica merasa bertanggung jawab memperbaikinya. Dorongan itu membuat Sica membuka fail berisi outline, mempelajarinya sebentar, lalu membuat fail baru untuk Cherrio.

Sica baru mengetik "Prolog" ketika Riga memanggil. Sica berpaling, berusaha tidak menampilkan raut kesal. "Kenapa?"

"Ada pacar kamu tuh."

Pipi Sica panas. Satu nama melintas. Sica berdiri, mengambil tas kertas kecil yang sudah tergantung di kamarnya lama sekali. Kakaknya tersenyum-senyum menggodanya. Sica mendorongnya sambil berkata, "Bukan pacar!"

"Ah, masa?"

Entahlah. Sica berharap yang kemarin-kemarin tidak terjadi dan Tama tetap ada di sisinya. Sica merindukan Tama lebih banyak dari yang ia harapkan. Sica merindukan Tama yang berusaha melucu untuknya. Sica merindukan Tama datang ke kelasnya. Sica merindukan Tama dan sapaan aku-kamu untuknya. Sica merindukan Tama dan semua rayuan murahnya. Ketidakhadiran Tama selama ini menumbuhkan rasa sepi lebih dari kehilangan siapa pun. Dan kehadirannya sore ini membuat Sica bersemangat juga gugup.

Sosoknya masih sama, dengan senyum yang sama, Tama berdiri di bawah teras rumahnya, menatap Sica seolah Sica sudah dinantinya jutaan tahun.

"Hai, Caca."

Pipi Sica mudah sekali memerah. "Hai."

Tama melirik paper bag di tangan Sica. "Mau pergi ke mana?"

"Nggak ke mana-mana." Sica memindahkan tasnya dari tangan kiri ke kanan, lalu menyodorkan dengan gestur malu. "Ini ... punya lo."

"Oh?" Tama menerima dan memeriksa. Pupilnya melebar saat ia bersorak. "Ah, jaket gue! Pas banget. Gue dateng mau ngambil. Tapi sebenernya buat lo aja nggak papa."

"Nggak!" seru Sica saat Tama ingin mengembalikan paper bag-nya. "Itu punya lo."

Tama terkekeh. "Iya, iya."

Lalu sunyi. Sica benci kecanggungan yang datang di antara mereka entah sejak kapan. Semua kecanggungan ini tiba-tiba. Rasanya baru kemarin Sica masih di pelukan Tama. Kini Sica ada teras rumahnya. Tama di halaman rumahnya. Jarak mereka hanya satu meter, tapi rasanya sudah seluas samudra. Dan di antara mereka, sepertinya tidak ada yang nekat berenang.

"Bokap lo mana?"

"Masih di rumah sakit."

Tama mengangguk. Sica bertanya-tanya apa benar hanya jaket yang membawa Tama ke sini. Atau mungkin ada hal lain. Sica setengah menantikan jika itu hal baik. Misalnya, Tama tidak akan menjaga jarak darinya seperti ini. Maksudnya, memangnya apa yang terjadi? Sica hanya menangis di pelukan Tama dan mengatakan kata-kata yang aneh. Sekarang Sica tidak yakin dengan apa yang dikatakannya dulu. Ia hanya ... tidak terbiasa.

"Oh, iya. Gue ada sesuatu buat lo." Tama merogoh saku jaket kulitnya.

"Apa?"

Tama menunjukkan satu bunga kecil pada Sica. Bunga berwarna merah yang terbuat dari plastik bekas dengan tangkai kawat. Kelopaknya berlapis-lapis dan tebal. Terlihat sederhana tapi cantik. Sica menerimanya ragu-ragu. Raut Tama jadi sungkan.

Sica membagi senyumnya dan pura-pura menghidu bunganya, ada aroma stroberi di sana. Ketika Sica bertanya, Tama menjawab, "Itu parfumnya Thara."

"Ini lo yang buat?"

"Bukan, sih. Itu tugas prakarya Thara, gue nyomot satu." Tama tersipu. "Ah! Seharusnya nggak gue kasih tau bagian nyomotnya!"

Tawa Sica berderai. Tama terpaku. Rasanya seperti mendapatkan kembali sesuatu yang hilang, yang sempat terhapus. Ketika Tama memutuskan untuk duduk di teras, Sica mengikuti. Kecanggungan itu lenyap, samudra yang menghalangi mereka digantikan oleh taburan ribuan bunga plastik beraroma stroberi. Sementara obrolan ringan menemani keduanya menutup sore, Sica membuka dokumen-dokumen di kepalanya. Di suatu folder bernama Orang-Orang yang Disayang, Sica menemukan nama Tama di sana. Nama yang sempat hilang. Sica bertanya-tanya di mana letak Recycle Bin kehidupan, tapi ia segera melupakan itu saat menatap bunga plastik di tangannya. Sica mengenggamnya erat sampai Tama pamit pulang.

Barangkali Recycle Bin kehidupan ada di suatu bunga plastik, atau di sebuah tawa yang tulus, atau di dasar hati yang baru kelihatan karena pengaruh bunga plastik atau tawa yang tulus. Apa pun itu, semuanya sederhana, Recycle Bin itu terpampang nyata, seperti di komputer, Sica tahu letaknya, hanya perlu satu dorongan untuk membuka dan mengembalikan semuanya.

Di kamar, Sica menghirup stroberi pada bunga plastiknya sampai aromanya habis. Bibirnya masih tersenyum ketika meluruskan tangkai kawat yang agak bengkok. Sica masih tersenyum saat menyisir-nyisir lipatan-lipatan kelopaknya sampai ia menemukan gulungan kertas kecil yang terselip. Sica mengambil gulungan itu dan menatapnya dengan dada berdebar. Senyumnya perlahan pudar.

Ketika Sica membuka gulungan kertas kecil itu, ada tulisan, tulisan tangan Tama, yang tidak rata dan miring-miring: Aku sayang kamu, katanya. Rasanya seperti ada yang menggelitik pipinya.

Sica langsung mengambil ponsel dan mengetik, "Aku juga," di WhatsApp, ia menimang-nimang sesaat sebelum memutuskan menekan tombol kirim. Pipinya terasa begitu panas serta merah dan Sica mematikan daya ponselnya saat Tama baru saja membaca dan sedang mengetikkan balasan. Sica begitu gugup sampai ia takut akan balasan pesan dari Tama. Tama pasti mengerti. Dan Sica tidak perlu tahu balasan apa yang ditulis Tama.

Karena biar bagaimana pun, Sica baru saja menggunakan kata "aku" pada Tama.

Satu Waktu Ketika RemajaWhere stories live. Discover now