✿ nggak percaya diri

141 25 0
                                    

"Nalaaaaa," seru Fiya ketika melihat Nala dari balik pintu kopi-rasa-lara.

"Fiyaaaaaaaaaaaa, long time no c u," ujarnya sambil membalas pelukan Fiya.

"Haduhhh, gimana bandung Fiii? Lo suka?" Nala mengambil duduk di sebelah Fiya. "Eh lo udah pesen belum?" tanya Nala, Fiya mengangguk.

"Yaudah gue pesen duluan." Nala bangun dari duduknya, pergi untuk memesan minuman dan cemilan untuk menemani dia dan Fiya beberapa jam kedepan.

Setelah kembali, Fiya nampak antusias. "Lo tau, gue udah se excited itu ngambil ftsl di itb. Huh seneng banget, tapi astaga bandung macet sama aja disini!" keluh Fiya.

Nala tersenyum sambil menyeruput minumannya. "Hahaha salain lu, makanya kan pindah kota nggak bikin ngefek apa-apa," sahut Nala.

"Terus gimana sama Gama?" ujar Fiya penasaran. "Cieeeeeeee mau dua tahun ya? Langgeng banget? Rahasianya apa coba?" seloroh Fiya.

"Apasih Fi? Resek. Ya gini-gini aja, dia makin sibuk manggung. Ini dia baru aja balik dari Surabaya, besok udah mau lanjut lagi," kata Nala, Fiya mengangguk paham.

"Udah berani ngambil di luar pulau?" tanya Fiya.

"Ehm nggak yakin sih gue, tapi akhir tahun kayaknya iya." Nala mengehela napas kemudian, berujar, "Kemarin kita sempet berantem sih."

"Hah? Kok bisa, kenapa?" Fiya terkejut.

"Ya gitulah, dia nggak ngabarin kalo udah pulang. Ternyata dia baru aja ngambil pengobatan, it didn't work well."

Fiya sudah tau, perihal Gama yang seorang bipolar disorder. Saat pertama kali tau, setelah debut Gama---Fiya nampak tidak percaya. Namun perempuan itu merasakan keanehan dari Gama. Saat itu ada masa krisis di hubungan Gama dan Nala yang baru berjalan itu, mereka dihadang dengan jarak yang memisahkan, juga saat itu Gama sedang kambuh. Nala kalut, tidak bisa melakukan apapun selain khawatir Gama melakukan hal-hal gila.

Maka Nala terpaksa pergi ke tempat Nala, dan bercerita tentang semua hal itu. Dari situ, Nala dan Fiya saling memahami. Persahabatan mereka jauh lebih erat dibandingkan saat sma dulu.

Fiya tersenyum tulus menatap wajah Nala yang sudah beberapa bulan ini tidak dia lihat. "Lo makin ekspresif semenjak sama Gama. Walaupun sahabat lo ada di luar kota, lo masih sempet nyanyain kabar gue. Jujur, kalau lo nggak ada ngabarin gue, pasti gue udah lupa saking sibuknya," jelas Fiya.

"Yah, Gama emang ngubah hidup gue sih. Banget malah," tambah Nala tersenyum membayangkan sosok Gama dikepalanya.

"Jadi gimana? Ceritain tentang lo dong? Kuliah gimana? Udah dapet pacar belum?" diakhir ucapannya Nala tersenyum menggoda Fiya.

Kemudian mereka larut dalam obrolan. Sudah selama itu Fiya dan Nala harus berpisah jarak. Bagi Nala, tidak cukup kekasihnya harus pergi dari kota ke kota untuk melakukan pekerjaannya, tetapi sahabatnya pula. Namun Nala tidak sedih karena ada handphone yang memudahkan suaranya.

Setiap hari Nala dan Fiya akan saling video call. Saling membangunkan satu sama lain di pagi hari, atau saat makan siang saling menunjukkan makan siang masing-masing dan berbincang lewat handphone.

"Loh, Nala? Aku kirain kamu udah sama Janu?"

Suara laki-laki menginterupsi Nala dan Fiya, Nala mendongak---mendapati Bragajaya Evan Saputra atau Jae itu katingnya berada di hadapannya.

Nala membuka handphone nya, ternyata mati. "Aduh kak, sorry hp saya mati, nggak bawa pb jugaa." Nala meringis.

Jae mengusap alisnya. "Oh yaudah, mending di bahas disini aja sekalian."

Fiya yang menyadari situasi ini langsung berinisiatif. "Eh, kalo gitu gue balik aja Nal, udah sore juga ada acara."

"Loh Fi?"

"Eh sorry kalau ganggu kalian," ujar Jae tidak enak.

"Oh enggak," Fiya menggeleng kemudian menjulurkan tangannya. "Fiya, temen sma nya Nala. Salam kenal."

"Oh, Bragajaya Evan, panggil Jae aja," balas Jae sambil tersenyum, menampilkan lesung pipitnya.

Fiya tersenyum dengan mata berbinar. "Ck udah buruan cabut lu," bisik Nala di telinga Fiya, kemudian Fiya berpamitan dan pergi.

"Kok bisa kebetulan banget ketemu Kak?" tanya Nala begitu Jae duduk di sebelahnya, laki-laki itu mengambil macbook nya. Tangannya dia gosokkan ke celana jinsnya.

"Nggak tau Nal, kebetulan aja. Makanya tadi aku telfon kamu nggak diangkat? Taunyaa,"

Nala meringis menyadari betapa teledornya dia, sehabis keluar kelas Nala langsung menuju toko kopi di dekat kampusnya karena mendengar kabar Fiya sudah pulang. Padahal, dia masih punya tanggungan di himpunan.

"Yaudah, aku mau mesen dulu. Kamu buka ada power point proposalnya, kalau nggak paham baru nanya aku." Jae bangun dari duduknya kemudian pergi. Sedangkan Nala fokus dengan layar laptop, tanpa dia tau ada seseorang di sana yang mengkhawatirkannya.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore ketika Jae membuka layar handphonenya. Baik dia maupun Nala sudah menghabiskam tiga gelas kopi berukuran medium dengan Nala yang baru memesannya lagi.

"Oke siap Kak, paham," ujar Nala.

"Ehm, udah sore nih. Mending besok kamu lanjut sama Janu aja, sama bahas detail buat sisa sie alat," kata Jae seraya membereskan barang-barangnya.

Nala mengangguk, perempuan itu mengambil handphonenya, kemudian menepuk jidat karena lupa jika daya nya habis. "Kenapa?" tanya Jae.

"Ini, saya lupa bawa pb, nggak bawa cas juga." Nala menggigit bibirnya.

"Astaga Nala, kenapa nggak bilang daritadi sih? Saya pinjemin kamu," balas Jae melihat Nala cemas. "Nih,"

Nala menghela napas lega jika charger milik Jae dan dia satu merek yang sama. Nala membelalak begitu melihat notifikasi yang bertubi-tubi dari Gama.

"Astaga, 10 unread messages, 15 telfon nggak dijawab?????" gumam Nala.

Jae masih memperhatikannya ketika Nala mendapatkan telefon dari seseorang.

"Gama... Sorry, iya. Nggak, denger dulu... Gama!" Nala berdecak melihat layar handphone nya. Nala kemudian.menyadari tatapan intens Jae. "Eh? Kak Jae mau pulang? Ini kak, ambil aja. Makasih, aku udah telfon orang rumah."

Jae menggelengkan kepalanya. "Nggak, bawa aja. Saya ada satu di rumah," balasnya. "Kamu pulangnya gimana? Perlu saya anter?"

"Enggak, enggak perlu ini udah dijemput kok," tolak Nala.

"Yaudah ayo nunggu di depan aja, sekalian saya temenin."

Jae dan Nala keluar dari coffee shop. Jae dan Nala sesekali berbincang untuk mengurangi atmosphere aneh diantara keduanya. Jae merasa bahwa Nala makin cemas setelah mendapat telefon tadi.

Tak lama sebuah mobilio putih membunyikan klakson beberapa kali, Nala bangun dari duduknya, "Kak Jae makasih ya? Udah dibantuin. Sama makasih juga chargenya, eh ehm sama maaf nggak bisa tanggung jawab ketemu sama Kak Janu."

Jae tersenyum, bangun kemudian mengacak rambut Nala beberapa kali hingga membuat perempuan itu terkejut. "Nggak usah kebanyakan makasih, itu nggak seberapa, yaudah----"

Tin tin

Nala buru-buru bergegas untuk masuk ke dalam mobil, di dalam mobil Gama sudah siap dengan wajah datarnya. Nala menelan ludahnya kesusahan begitu Gama melajukan mobilnya keluar dari pelataran coffee shop.

"Gama aku---"

"Simpen semua sanggahan kamu," potong Gama. "Kita ke tempat aku sekarang," ujarnya dingin.

Nala tidak bisa menjawab apapun selain fokus ke jalanan di samping kirinya. Dalam hati dia berdoa, emosi Gama tidak akan meledak nanti setelah mereka berbicara. Semoga saja.

• • •

[ ii ] pilu membiru, xiaojunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang