T u j u h

95 15 8
                                    


Pov Zahwa

Aku berpamitan untuk kembali ke kota Malang dengan Abah, Ummi dan Dek Sari.

"Abah, Ummi, dan juga Dek Sari, Zahwa pamit mau ke Malang lagi yah. Doa in Zahwa biar lancar kuliahnya dan dapat banggain keluarga semuanya."

Setelah kuucapkan itu, aku cium tangan Abah dan Ummi. Mereka memelukku dan melafalkan doa yang selanjutnya ditiupkan ke ubun-ubunku seraya mengecupnya.

"Dek, jangan berpikir untuk pacaran dulu yah. Manfaatkan waktu kamu untuk lebih banyak menebar kebaikan." Pesanku kepada Dek Sari sambil berpelukan erat seperti Tinky Winky dan Lala dalam serial teletubbies.

"Hati-hati di jalan, yah." Kata mereka bersamaan. Kubalas dengan anggukan.

Tak berapa lama, datang mobil travel yang akan mengantarku kembali ke Malang yang kini serasa menjadi kota favoritku setelah Tulungagung yang merupakan tempat kelahiranku.

"Assalamualaikum, Dek. Dah berangkat lagi ke Malang?" Pesan Kak Malik yang aku baca di smartphone ku.

"Wa aalaikum salam. Iya, Kak. Ini udah di dalam travel."

"Ya, udah. Hati-hati selama di Malang sana. Dan ingat kamu harus bisa jaga amanat dari Abah dan Ummi. Ada salam dari Kak Rahma." Kata Kak Malik mengingatkanku akan amanat Abah dan Ummi.

"Wa alaikum salam. Iya, Kak. Makasih udah ngingetin, Zahwa. Salam balik juga buat Kak Rahma."
"Owh ya. Doa in yang terbaik buat Zahwa, Kak." Pesanku ke Kak Malik.

Tak lama kemudian aku tertidur dalam perjalanan. Sedang asyiknya dibuai mimpi terdengar notifikasi pesan pribadi masuk dalam smartphone ku. Sambil memicingkan mata, kulihat ada pesan dari Darren.

"Masih di rumah, kah? Aku baru baca pesan kamu." Pesan yang kuterima dari Darren.

Kuabaikan pesan itu dan kumatikan smartphone ku. Aku ingin melanjutkan tidur sebab masih ada waktu kurang lebih 2 jam sebelum kendaraan travel ini memasuki wilayah kota Malang.

Sesampai daerah Turen yang terkenal dengan masjid bawah tanahnya di kompleks Pondok Pesantren Biharul Bahri Fadloilir Rahman, aku terbangun dari mimpiku. Kutetapkan hati suatu saat nanti aku pengen berkunjung ke sana. Selanjutnya kunyalakan smartphone ku dan nampak beberapa notifikasi pesan yang masuk.

"Assalamualaikum, Zahwa. Udah sampai rumah Om Roni kah? Kapan main ke rumah?" Kubuka dulu pesan dari sahabatku Maria Andewi.

"Ini baru juga sampai Kepanjen. Lusa insyaa Allah aku main ke rumah kamu. Aku juga mau silaturahmi ke orang tua kamu." Balasku pada Ande.

Selanjutnya aku buka pesan-pesan yang ada di grup. Dan kutulis status di aplikasi whatsapp ku.

"Alhamdulillah aku sampai lagi di Kota Malang tercinta."

Kembali kuabaikan lagi pesan dari Darren dan rencana aku balas setelah sampai di rumah Om Roni.

Baru juga aku memasuki kamar setelah sebelumnya ngasiin oleh-oleh dari Ummi buat Tante Muthia, terdengar nada dering dari Darren. Kembali kuabaikan panggilan itu dan ku setting dalam kondisi silent. Sebelum kurebahkan badanku di atas ranjang, aku telepon Ummi untuk memberi tahu kalau aku sudah sampai Malang dengan selamat. Aku teringat untuk sholat Dhuhur dan segera kuambil air wudlu lalu mulai mencoba dengan khusyu' menyapa Allah Yang Maha Kuasa. Selesai sholat dan berdoa aku tertidur dalam keadaan masih pakai mukena.

Adzan sholat Ashar terdengar dari Masjid Ainul Yaqin dan akupun terbangun untuk segera menunaikannya. Setelah selesai melakukannya, aku menuju dapur untuk membantu Tante Muthia menyiapkan cemilan sore buat keluarga.
=======

Pov Ali

Lebaran pertamaku setelah kembali ke kampung halaman. Tak terasa hampir satu tahun aku meninggalkan kota Cianjur. Aku berencana untuk berziarah ke makam istriku, Vera Maulida Wikanta. Memang aku tak pernah melupakannya dalam setiap doaku, semoga dia bahagia di alam sana. Namun aku merasa kurang afdhal kalau belum ziarah ke makamnya.

Libur lebaran ini aku berencana pergi ke Cianjur. Aku berangkat dari Malang menggunakan kereta Mutiara Selatan dan turun di Kota Bandung keesokan harinya. Setelah itu aku menyewa taksi untuk ke rumah orang tua Vera di Kampung Ciptaharja. Aku datang sebagai anaknya. Peluk hangat menyambut kedatanganku.

"Bapa sareng Ema, kumaha damang?" Sapaku kepada orang tua keduaku. (Bapak dan Ibu, gimana sehat)

"Alhamdulillah. Kumaha sawalerna sareng Mas Ali?" Tanya Pak Dedi Wikanta yang juga mewakili perasaan istrinya, Ema Cucu Sholihat. (Alhamdulillah. Gimana sebaliknya dengan Mas Ali)

"Alhamdulillah, abi oge damang. Aya salam ti Bapa sareng Ibu di Jawa." Jawabku sambil masih memegang telapak tangan keduanya. (Alhamdulillah, saya juga sehat. Ada salam dari Bapak dan Ibu di Malang)

"Abi nyuhunken hapunten nembe tiasa kadieu deui. Ieu oge teu tiasa lami." Aku meminta maaf karena baru bisa menengok mereka dan ziarah ke makam Vera. (Saya minta maaf baru bisa ke sini lagi. Ini juga ga bisa lama)

"Wios pan tebih ti Malang kadieu teh. Anu penting silaturahmi tetap terjaga." Mereka tidak mempermasalahkan aku yang tidak pernah ke Cianjur. (Gak apa-apa kan jauh dari Malang ke sini. Yang penting silaturahmi tetap terjaga)

Setelah kubagikan sedikit oleh-oleh bagi keluarga dan tetangga, akhirnya aku mencoba untuk memejamkan mata di ranjang yang pernah menjadi saksi bisu keberadaan cinta kami.

Buka puasa hari terakhir bersama keluarga Bapa Dedi dan Ema Cucu sungguh menguras perasaan ini. Air mata ini ingin meloloskan diri meluncur jatuh sebab selalu ada ingatan yang terus melayang-layang di kepala. Ingatan kembali membayang akan kondisi hamil Vera yang mendekati proses kelahiran. Andai saat ini Vera dan anakku masih hidup, tentulah suasana  ini akan begitu membahagiakan. Ada kesibukanku membantu Vera malam-malam ketika anakku ngompol ataupun buang air besar. Sepulang kerja disambut dengan tawa dan canda riang dari Vera juga anakku.

"Sabar, Mas Ali. Ihlashkan semuanya. Mudah-mudahan ada hikmah yang tersembunyi dari musibah itu." Kata Bapa Dedi sambil mengusap bahuku sementara Ema Cucu menggenggam tanganku ketika mereka menyadari aku terdiam dan meneteskan air mata di saat sedang makan.

Akupun menganggukkan kepala dan melanjutkan makan lagi dengan sedikit paksaan agar tidak terlihat kesedihan di mataku yang akhirnya menyebabkan keluarga ini akan bertambah sedih. Selesai makan, aku mencuci tangan dan muka serta mencoba kembali bercengkerama bersama menyambut gema takbir yang mengalun dari Masjid al Muhajirin yang berada di belakang rumah.

Malam takbir menggema
Hadirkan sebuah ingatan penuh luka
Tiadanya orang yang aku cinta
Karena dipanggil Sang Kuasa

Selamat jalan istri dan anakku
Cinta Ayah selalu menyertai kalian
Tersenyumlah kalian selalu
Agar jiwa ini selalu terhangatkan

Kutulis status di aplikasi whatsapp ku. Dan kuletakkan tablet di kamar sementara aku bergabung kembali dengan keluarga besar ini. Jam 10 malam aku masuk ke kamar dan berniat untuk tidur. Kusempatkan membuka pesan yang mungkin masuk. Tampak ada no baru yang belum ada dalam kontakku.

"Cie... cie... cie... Ayah yang mesra nih. Bikin hatiku meleleh aja." Pesan yang tertulis dari no yang tak kukenal tadi.

Kubiarkan pesan itu dan kubaca pesan-pesan yang masuk lainnya dari grup. Akupun ke kamar mandi dulu untuk bersih-bersih diri sebelum tidur sehingga aku berharap tidak terbangun di tengah lelapnya tidur. Tatkala masuk kamar lagi kudengar ada notifikasi pesan yang masuk.

"Selamat Idul Fitri, Pak Ali Burhan. Maafkan kesalahanku yang sengaja maupun tidak. Mohon maaf lahir dan bathin. Fitri Mahmudah." Pesan yang kubaca dan akhirnya kutahu itu no Bu Fitri.

"Iya sama-sama, Bu. Saya juga mohon maaf lahir dan bathin." Jawabku singkat. Dan tiba-tiba aku penasaran dengan namanya.
"Bu Fitri lagi ngerayain hari kelahiran, yah?"

Wah ada apa dengan hati Ali yah? Kok tiba2 ngirim pesan ke Fitri. Katanya... cintanya ikut terbawa oleh istrinya yang udah mati. Kita tunggu episode berikutnya...

Selamat berhari raya bagi yang merayakannya kata Ali-Fitri dan Darren-Zahwa.

Attuhibbuna, Pak DosenWhere stories live. Discover now