[19] Berakhir?

79.8K 4.7K 169
                                    

Satu jam.

Dua jam.

Tiga jam telah berlalu, Dara masih setia duduk menunggu di depan pintu UGD. Wajahnya sudah kusut oleh air mata. Bi Minah yang ikut menunggu tak henti-hentinya memanjatkan do'a yang ia hafal.

"Keluarga Ananda Megan?"

Lamunan Dara terbuyar, tubuhnya sontak berdiri saat suara yang sejak tadi ia nantikan akhirnya menyapa pendengarannya. Kini ia berhadapan langsung dengan Dokter yang baru saja melepaskan masker hijaunya.

"Saya dok. Bagaimana keadaan teman saya?! Di-dia masih hidup 'kan?" Desak Dara spontan.

"Tenang dek. Begini ..." Dokter berjenis kelamin laki-laki itu menghela napasnya lelah. "Ada titik janggal di bagian engsel kakinya, salah satu otot sarafnya mati akibat benturan yang cukup kuat. Dan akibatnya seluruh saraf-sarafnya tidak bisa berfungsi lagi."

"Maksudnya?" Dara tidak mengerti masalah medis, apalagi diterangkan masalah saraf seperti ini.

"Karena matinya saraf tersebut, otomatis, kakinya tidak akan bisa berfungsi lagi, lebih tepatnya lumpuh total."

Jlebb.

Dara memegang dada kirinya yang bereaksi luar biasa hebat. Jantungnya terasa copot dari tempatnya. Bagai petir disiang bolong, ia benar-benar tidak bisa mencerna semua ini.

Megan lumpuh? Itu artinya gadis itu akan menghabiskan seluruh sisa hidupnya di kursi roda? Selamanya?

Tubuh Dara ambruk dan tertunduk dengan air mata bercucuran. Bi Minah yang sama-sama terpukul segera menghampiri Dara dan mencoba menenangkannya.

                                    ***

"Megan, gue minta maaf untuk semua ini. Gue minta maaf atas semua yang udah menimpa lo. Gue gak tau harus dengan cara apa gue minta maaf, semua yang akan gue lakuin gak akan cukup untuk membayar derita yang lo alamin.
Maaf, karena gue lo harus kehilangan kaki lo, masa depan lo, dan kebahagiaan lo. Cukup Reka yang kehilangan nyawanya, jangan elo. Gue sayang banget sama lo. Maafin gue, maaf."

Untuk kesekian kalinya, Dara mencium lembut tangan pucat Megan yang dibalut oleh selang infus.

Di ruangan yang insentif ini, Dara terisak dengan segala rasa bersalahnya, ia menangis tanpa mengeluarkan suara karena takut mengusik Megan.

Meskipun yang diajak bicara hanya terbaring lemah dengan banyak alat medis di tubuhnya, tapi Dara yakin, Megan pasti mendengarnya.

Suara detak jantung Megan terdengar nyaring di layar monitor. Dara melihat jam dinding yang menggantung disana, waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 malam. Dara memeluk singkat tubuh lemah Megan, kemudian berlalu ke kamar mandi untuk membasuh wajah kusutnya. Ia lupa malam ini Arga mengajaknya untuk bertemu.

                                     ***

Arga mendengus kasar, ia melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah setengah jam ia menunggu Dara tapi gadis itu tak kunjung datang juga. Sungguh, kesabarannya sudah sangat tipis saat ini. Ia bergerak gelisah, baru saja Arga akan berdiri untuk pergi, Dara sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan dingin.

"Gak ada orang sabar yang rela nunggu terlalu lama!" ketus Arga.

"Maaf Ga, ada masalah kecil. Tapi udah aku beresin kok," ujar Dara sambil memaksakan senyum di bibirnya.

"Muka kamu kenapa pucet?" tanya Arga.

"Eh, enggak kok. Aku 'kan habis gak enak badan tadi, masa kamu lupa." Dara tersenyum kecil untuk menghilangkan rasa gugupnya.

My Psychopath (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang