08 : Gilang Singgih

90.3K 11.9K 1.7K
                                    

"Suka makanan sunda?" tanyaku pada Wenny yang duduk dengan tenang di sampingku.

Kami masih dalam perjalanan menuju tempat makan. Wenny masih mengenakan seragamnya, hanya saja dia menutupinya dengan outer berwarna hijau tua. Aku benar-benar tidak tahu apa kesukaan Wenny dan memesan tempat di restoran sunda.

"Aku penggemar berat lalapan," sahutnya membuatku tersenyum tipis dan lega juga. Pilihanku tidak salah ternyata.

"Sepertinya untuk selera makan kita cukup satu selera," tuturku.

Aku melirik Wenny yang melihatku, dia menganggukkan kepalanya setuju. Entah kenapa, aku melihat binar wajah Wenny yang sekarang sedikit berbeda. Sebelumnya, aku selalu merasakan Wenny sedikit tertutup dan menahan diri. Sorot matanya terkesan datar dan dingin, kini terlihat lebih hangat.

Kata orang, dari kedua bola mata kita dapat memancarkan sebuah cerita. Jujur aku tidak tahu, cerita seperti apa yang Wenny simpan seorang diri. Ada sesuatu dalam diri Wenny yang membuatku ingin menjaga dan melindunginya. Mungkin terlalu dini jika aku mengatakan bahwa aku menyukai Wenny, tapi aku tahu perasaan ini lah awal mula semuanya.

"Kamu tidak ingin menanyakan apa pun?" Aku membuka suara, memancing Wenny.

Aku ingin Wenny bertanya dengan sendirinya soal diriku, tentang statusku. Maksudku, kami akan menikah. Tidak mungkin Wenny tidak penasaran dengan masa laluku. Karena, aku penasaran dengan masa lalu dirinya.

Wenny, dia bukan perempuan biasa. Dia cantik dan sepertinya supel. Mustahil tidak ada pria yang tertarik padanya. Kesendiriannya saat ini seolah-olah buah dari keinginannya sendiri dan aku penasaran dengan cerita di baliknya.

"Bagaimana kalau kita bahas nanti? Mas sedang menyetir," kata Wenny yang aku setujui.

∞∞∞

Aku memandangi Wenny yang sedang memesan makanan pada pelayan. "Saya mau sambalnya dibanyakin ya Mba, terus lalapannya juga. Oh iya ada pecak terong juga kan? Saya mau ya ...." Wenny terus menyebutkan pesanannya. "Mas pesan apa?" tanya Wenny kemudian.

Aku berdeham pelan, mengerjapkan mata dan membenarkan posisi dudukku. "Tambahkan ikan bakar saja. Minumnya es teh manis," sahutku.

Wenny langsung memilih menu ikan bakar, dia menyebutkannya ditambah dengan es teh manis. Setelah pelayan pergi, Wenny kembali menghadapku. Kami memang duduk berhadapan.

"Makanan yang paling kamu nggak suka?" tanyaku pada Wenny.

Dia terlihat sedikit kaget mendengar pertanyaanku, terlihat dari bola matanya yang sedikit membesar. "Aku nggak terlalu suka makanan yang manis-manis, lebih suka yang asin-asin gitu," sahutnya. Wenny mmajukan badannya, dia melipat tangannya di atas meja dan bertanya, "Kalau Mas, ada makanan yang nggak disuka?"

"Terong, paling nggak suka terong dan tidak terlalu bisa makan yang pedas-pedas," jelasku. Wenny menganggukkan kepalanya dua kali. "Kamu bisa masak?" tanyaku kemudian.

Wenny terlihat membuat raut wajah meringis, dari situ aku sudah bisa menebak jawabannya. Wenny kemudian menggelengkan kepalanya dan menatapku dengan sorot mata menyesal.

"Aku nggak bisa masak, nggak bisa bawa kendaraan juga. Kayaknya aku banyak nggak bisanya," gumam Wenny pelan sambil menghela napas di ujung kalimat.

Aku tersenyum tipis mendengar gumamannya. "It's okay, soal makanan kita bisa beli atau sesekali Mas yang masak. Soal kamu nggak bisa bawa kendaraan, selama Mas nggak ada kerjaan di luar kota akan diusahakan untuk selalu diantar kemana pun kamu mau," kataku yakin.

Aku tidak menggombal sama sekali, apa yang aku katakan memang benar. Tidak ada rasa keberatan bagiku, semua permasalahan bisa dihadapi bersama.

"Jangan gombal Mas."

My Reason of Love (Selesai)Where stories live. Discover now