24 : Gilang Singgih

81.4K 10.2K 533
                                    

Akhirnya aku bisa memenuhi janjiku pada Wenny, kami benar-benar liburan ke puncak. Mang Ujang sudah menungguku di depan vila, beliau sudah menerima perintah Devan untuk membersihkan dan mempersiapkan vila.

Wenny terlihat sangat bergembira, dia bahkan bersemangat membantu Bi Siti –Istri Mang Ujang, di dapur. Aku justru membereskan bawaan kami sendirian di kamar. Dia mengatakan ingin bermain ayunan kayu yang ada di depan vila, aku meminta Mang Ujang untuk memastikan ayunan tersebut masih bagus.

"Mas!" Wenny muncul di depan pintu, sepertinya dia sudah bosan membantu Bi Siti. "Belum beres?" tanya Wenny yang hanya melihat saja aku mengatur pouch kosmetik miliknya.

"Bantuin dong, Nyonya Singgih," sindirku membuat Wenny tertawa dan menggelengkan kepala. Dia hanya menyandar pada kusen pintu dan memperhatikanku sambil tersenyum puas.

"Buruan dong, Mas!" keluh Wenny membuatku menatapnya dan menaikkan alisku sebal. Aku bangun dari posisi dudukku di lantai, koper masih aku biarkan terbuka.

Aku menarik Wenny dan kemudian menutup pintu kamar sedikit keras. Wenny mundur perlahan dan aku maju terus, dia terlihat panik saat aku menarik sebelah bibirku, membentuk senyum sinis.

"Aku teriak nih ya, Mas," ancam Wenny.

"Teriak saja. Paling juga Mang Ujang dan Bi Siti mikirnya kamu lagi bercanda sama Mas," sahutku dengan santai.

Wenny kini terpojok, kaki bagian belakangnya membentur tempat tidur. "Mas!" Wenny memekik pelan karena kehilangan keseimbangan dan jatuh di atas tempat tidur.

Aku tersenyum puas melihatnya, kini aku menggunakan kesempatan dengan mengurung Wenny di dalam kukunganku. "Kamu duluan yang pancing-pancing Mas, Wen," kataku pelan. Wenny mengalihkan tatapannya ke arah lain, senyumnya tertahan karena gengsi.

Aku mengikuti arah gerak kepala Wenny, menunduk dan kemudian aku menempatkan bibirku pada bibir manis Wenny. Aku melumat bibir Wenny, dia pun mengikuti iramaku.

∞∞∞

Wenny mendelik sebal padaku, itu karena dia tidak jadi bermain ayunan di depan vila. Saat kami keluar dari kamar, langit sudah menjadi gelap. Aku melarang Wenny untuk bermain ayunan karena cuaca yang dingin, tadi juga sempat turun hujan sebentar.

"Mas nih," sebalnya.

"Loh kok Mas? Kamu yang mulai duluan loh ...," kataku sembari meletakkan dua buah terong dari dalam sambal yang aku ambil, aku memberikan terong tersebut ke atas piring Wenny. "Lagian, ke sini emang mau bulan madu. Ya harus dimaksimalkan dong," lanjutku membuat Wenny mendesis semakin sebal.

"Bulan madu tuh ke luar negeri, kalau ke puncak begini doang liburan namanya. Nikah udah berapa bulan juga, masa baru bulan madu sekarang. Mending dari kemarin-kemarin aja terima tawaran Putra sama Dev ...." Wenny berhenti mengoceh saat aku mengecup pelan bibirnya.

Mata Wenny mengerjap pelan, dia menatapku dengan diam. Aku pun memanfaat kesempatan dan mengecup sekali lagi bibir Wenny.

"Ngomelnya dilanjut nanti, makan dulu," peringatku yang akhirnya berhasil membuat Wenny diam.

Aku tahu, dia sedang malu-malu karena apa yang aku lakukan. Wenny, dia memang selalu seperti ini. Aku menyukai reaksi Wenny yang tidak berubah. Padahal, aku sudah sering menciumnya, mengecup dan memeluknya.

Aku dan Wenny makan dalam diam. Istriku ini juga cukup perhatian, dia menyingkirkan terong dan mengambilkan sambalnya untukku. Sambal Bi Siti tidak begitu pedas, sehingga aku suka memakannya.

"Mas kamu kuat nggak gendong aku ke atas?" Wenny tiba-tiba bertanya saat kami selesai makan. Meja makan sudah dibersihkan, hanya saja Bi Siti nanti akan datang mencuci piring kotor.

My Reason of Love (Selesai)Where stories live. Discover now