28 : Gilang Singgih

73.9K 9.6K 332
                                    

Aku kembali ke kamar setelah lebih tenang. Aku bersalah memang sudah main pukul saja seperti tadi. Terlebih lagi Wenny justru membantu pria brengsek itu. Selama ini aku diam bukan berarti tidak tahu apa-apa soal Wenny dan Febriko.

Beberapa waktu yang lalu aku sempat ngopi bareng dengan Putra. Dia lah yang menceritakan soal Febriko. Mengenai bagaimana pria brengsek itu membuat Wenny sakit hati, kemudian menimbulkan perkelahian antara Wika dan istriku.

Maaf saja, aku tidak akan merasa kasihan dan memberikannya kesempatan untuk mendekati Wenny lagi. Dia sendiri yang bersalah karena sudah menyia-nyiakan Wenny.

Aku mendapati Wenny sedang tertidur, matanya terlihat bengkak. Sepertinya Wenny menangis sendirian. Aku menghela napasku pelan, merasa bersalah karena sudah menyebabkan Wenny menangis seperti ini.

Aku mengusap pelan pipi Wenny, sangat pelan agar tidak mengusik tidurnya. Kemudian aku mengecup pelan dahi Wenny. Baru kemudian aku membersihkan diriku, baru menyelesaikan pekerjaanku.

Besok pagi-pagi sekali aku harus ke rumah produksi, ada sedikit masalah di sana. Sebenarnya aku pulang lebih awal dari jadwal karena masalah di rumah produksi. Untunglah aku bisa pulang lebih cepat, dosen-dosen lain yang berangkat bersamaku mengizinkan dan mau membantu mengambil tugasku.

Ibu Mertua

Benar kamu sudah pulang Lang? Wenny ada sama kamu?
Ibu khawatir karena tadi Wenny bertemu Febriko

Aku baru membaca pesan singkat dari ibu setelah mandi. Aku mengecek jam masuk pesan tersebut, kira-kira satu jam yang lalu.

Gilang send to Ibu

Iya Bu
Maaf Gilang baru lihat HP
Wenny ada sama Gilang kok Bu. Sekarang lagi tidur

Setelah membalas pesan dari ibu mertuaku, aku membenarkan posisi selimut Wenny. Mengatur suhu AC agar Wenny tidak terlalu kedinginan. Di luar hari sedang hujan, suhu pasti terasa lebih dingin dari biasanya.

Mengingat soal pembicaraanku dengan Devan tempo hari. Kami membicarakan soal Sania yang belakangan menggangguku. Devan rupanya mencari tahu soal kebenaran penyakit Sania. Aku berharap itu hanya akal-akalan Sania saja, ternyata aku salah. Sania memang benar-benar sakit.

"Lo yakin mau tuntut Sania, Mas? Kalau media sampai tahu ini, nama baik lo jadi taruhannya Mas. Sania itu pintar memainkan peran, dia bisa dengan mudah mengatakan bahwa dia sakit dan memilih bercerai karena nggak mau lo susah mengurusnya. Tiba-tiba lo nikah begini dan malah nuntut si Sania." Devan memaparkan dengan jelas kronologi kejadian yang mungkin saja akan terjadi nanti.

Aku memijat pelipisku pelan, bingung harus melakukan langkah apa. Jika terus dibiarkan aku takut Wenny akan salah paham dan justru menjadi terluka. Sementara berhadapan dengan Sania juga tidak mudah.

Rencanaku sekarang aku tidak akan memperpanjang dulu masalah Sania. Lagi pula, aku sudah memblokir nomor Sania. Jika dia muncul lagi dan menimbulkan keresahan kembali, aku memang tidak punya pilihan lain sepertinya.

∞∞∞

"Saya sudah mengarahkan untuk penggunaan alat potong manual seperti perintah Pak Gilang." Pak Asep –kepala rumah produksi, menjelaskan kepadaku mengenai permasalahan kemarin.

Mesin potong mengalami kemacetan dan justru menyebabkan kecelakaan kerja salah satu pegawaiku. Jarinya hampir saja putus oleh mesin potong dan harus segera dilarikan ke rumah sakit. Rencananya dari sini aku akan mengunjungi Bu Retno di rumah sakit.

"Terus himbau yang lain untuk berhati-hati. Mesin potong akan segera diperbaiki," ujarku pada Pak Asep yang mengangguk.

Saat aku melewati tempat pengemasan, aku melihat keripik pisang cokelat sedang dikemas. Melihat keripik pisang cokelat jadi mengingatkanku pada Wenny. Pagi-pagi sekali tadi aku sudah berangkat, sedangkan Wenny masih tertidur pulas. Hari ini hari Sabtu dan Wenny butuh istirahat.

Aku mengambil dua bungkus keripik pisang cokelat. "Saya ambil ini dua," ujarku pada Pak Asep yang mengangguk. "Pak Asep temani saya ke rumah sakit, di sini serahkan dulu kepada Imam," tuturku pada Pak Asep.

"Baik Pak," sahut beliau.

Aku membeli parcel buah untuk menjenguk Bu Retno dan juga aku meminta Anita –bagian finance untuk memberikan tunjangan kepada Bu Retno. Pak Asep bersama Imam membantu untuk pencairan BPJS Ketenagakerjaan Bu Retno. Aku menyerahkan semuanya kepada mereka.

"Ini kamarnya Pak," kata Pak Asep yang mempersilahkanku untuk masuk lebih dahulu.

Kamar rawat inap kelas dua tidak terisi penuh rupanya. Hanya ada Bu Retno yang dirawat di sini. Aku mengangguk sopan pada suami Bu Retno, sementara Pak Asep menyerahkan parcel buah bawaan kami.

"Saya Gilang Singgih," ujarku memperkenalkan diri pada suami Bu Retno. Sementara Bu Retno tersenyum menatapku.

"Saya Jono." Suami Bu Retno memperkenalkan diri.

Aku dan Pak Asep dipersilahkan duduk di lantai bawah yang sudah tergelar alas tikar. Bu Retno membuat posisi duduk di brankarnya. Aku melihat jari kiri beliau yang diperban.

"Terima kasih sudah repot-repot mau datang, Pak." Bu Retno membuka percakapan, sementara Pak Jono menyediakan air mineral gelas di depanku dan Pak Asep.

"Semoga cepat sehat ya, Bu."

"Besok sudah boleh pulang kok. Pusingnya juga sudah mulai menghilang, terlalu kaget sepertinya sampai pusing dan lemas," cerita Pak Jono.

Aku tersenyum lega mendengarnya. "Saya tidak dipecatkan Pak?" Bu Retno tiba-tiba bertanya dengan wajah was-was.

"Tidak kok, Bu. Setelah sehat dan boleh bekerja kembali oleh dokter Ibu bisa langsung masuk. Hubungi saja Pak Asep," kataku.

Bu Retno dan Pak Jono mengucap syukur bersamaan. Keduanya terlihat lega mendengar jawabanku. Padahal, aku yang sebenarnya takut Bu Retno akan berhenti bekerja. Bu Retno ini pegawai lamaku, beliau sudah sejak awal aku membuka usaha ini bergabung membantu.

"Saya ini buruh bangunan, Pak. Penghasilan kadang ada kadang enggak. Makan sehari-hari lebih banyak dari gaji, Ibu." Pak Jono bercerita dengan raut wajah yang muaram.

Aku menjadi tidak tega melihatnya. Memberikan beliau tepukan di atas punggung tangan beliau, menguatkan Pak Jono. Tidak banyak hal yang bisa aku lakukan, menghibur mereka pun sepertinya tidak bisa.

Karena jam jenguk yang terbatas, aku dan Pak Asep tidak berlama-lama. Kami berpamitan pada Bu Retno dan Pak Jono. Aku juga mengatakan untuk Bu Retno tidak perlu khawatir soal gaji selama sakit.

"Di rumah produksi, tidak ada bagian yang kosong untuk laki-laki?" tanyaku pada Pak Asep saat berjalan di koridor rumah sakit.

"Ada satu yang kosong Pak. Sopir pengantaran ke mini market ke daerah utara sepertinya kosong," sahut Pak Asep.

"Kalau Pak Jono punya SIM dan sesaui kriteria, masukkan beliau saja," usulku yang disanggupi oleh Pak Asep. "Oh ya ... kalau Pak Jono tidak masuk ke kualifikasi kabari saya. Biar nanti saya carikan pekerjaan lain untuk beliau," pesanku.

"Baik Pak."

Aku melihat jam di pergelangan tanganku, sudah waktunya jam makan siang. "Kalau begitu kita berpisah di sini ya, Pak Asep." Aku dan Pak Asep berpisah di depan rumah sakit. Kami tadi memang membawa kendaraan terpisah.

Bersambung

Yuk ramein guys! Setiap habis baca tinggalin jejak ya~
Bab berikutnya bakalan segera aku update!

Yuk ramein guys! Setiap habis baca tinggalin jejak ya~Bab berikutnya bakalan segera aku update!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Reason of Love (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang