Nasehat

73 9 0
                                    

Bagian 7

Setelah membaca balasan pesan dari Tari, ada sedikit rasa cemburu yang menusuk hatiku, tentang sebuah nama laki-laki yang asing di telingaku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah membaca balasan pesan dari Tari, ada sedikit rasa cemburu yang menusuk hatiku, tentang sebuah nama laki-laki yang asing di telingaku.
Namun rasanya aneh, apa hak ku atas sebuah rasa itu?

Aku bangun dari posisi berbaring, Aku duduk di pojok kamar, aku balas lagi pesan dari Tari tadi.

"Arman siapa Tar?" Tanyaku disertai emosi cemburu yang meletup-letup.

Dan tak lama tari pun langsung membalas.

"Memangnya kenapa kak?"
"Dia itu teman sekelas aku, kebetulan rumahnya tak jauh dari rumahku."

"Oh ... "
Sesingkat itu aku merespon pesan dari Tari, sebab rasanya aku tengah dirundung kesal dan gengsi yang teramat dalam.
Tak mungkin kalau bilang aku cemburu dengan Arman.

"Ih kakak kenapa sih, jadi cuek begini."

Semakin lama ku teruskan percakapan ini, nantinya aku malah jadi semakin kesal.
Sudahlah, kututup aja percakapan ini. Gumamku dalam hati.

Kurebahkan lagi badanku, kubenamkan wajahku sedalam-dalamnya, ku teriak sekencang-kencangnya dalam hati.
Sebagai tanda perlawananku atas rasa kesal yang semakin menjadi dan menggerogoti setengah kesadaranku.

Tak lama aku keluar dari kamar, kutemui bapak sedang duduk sendiri di teras depan, sembari membaca koran, ditemani kopi hitam dan Sampoerna mildnya.

Maklum sekarang adalah hari Minggu, jadi bapak libur.
Tapi biasanya hari libur pun bapakku masih sibuk. Entah kenapa rasanya hari ini aku seolah disuruh cerita perihal hati ke hati kepada bapakku.

Ku dekati bapakku dan kududuk di sebelahnya.

"Pak .. "
"Pakkk ... "

"Hai ada apa Lin?"
"Bapak lagi fokus baca nilai jual saham ini !" Jawab bapakku yang pandangannya tak mau lepas dari koran yang dia baca.

"Bisnis terus diurusin, kapan bapak ada waktu buat dengar keluhkesahku !" Cibirku disertai emosi yang masih meletup-letup.

Akhirnya bapak melipat dan menaruh koran yang dia baca ke meja. Kini pandangannya tajam tertuju padaku.

"Oke, oke, maafkan bapak."
"Sekarang bapak harus gimana?"

"Lintang nggak tahu harus mulai cerita dari mana. Bahkan Lintang juga malu jika harus cerita tentang masalah ini ke bapak.

Bapak menggeser tempat dia duduk, meraih pundakku, memeluk kemudian menyapu punggungku dengan telapak tangannya.

Ya Allah ... Rasa apa ini? Rasanya sudah lama sekali tak merasakan nyaman seperti ini. Aku seolah merasa terlahir kembali, jadi seorang anak lengkap beserta kasih sayang orang tua.

Air mata seolah ingin segera tumpah membasahi pipi dan pundak bapakku.

"Yasudah, sekarang kamu mau cerita apa?Ngomong aja nggak usah malu." Ucap bapakku sembari melepaskan pelukannya namun pandangan masih tertuju tajam ke arahku.

"Aku bingung harus dari mana ku utarakan semua ini!"

"Lin .." sekali lagi bapak menyuruhku.

"Aku bingung Pak."

"Bingung kenapa, coba cerita pelan-pelan !"

"Awalnya aku suka sama seseorang, namanya Arum, aku bertemu dengannya ketika ada turnamen futsal di sekolahannya. Aku suka senyumnya, manis, adem, dan membuat hatiku tentram. Namun beberapa hari berlalu, aku mengira dia adalah wanita yang angkuh, aku jadi sedikit kecewa."

"Dan tak lama datanglah wanita lain namanya Tari, dia memberikan rasa nyaman untukku, kebetulan dia adik tingkat di sekolahanku."

Jlebbb .. Tiba-tiba aku terdiam dan membenamkan wajah.

"Ya sudah dilanjut lagi ceritanya, angkat kepalamu, ingat kamu laki-laki." Kata bapak sembari mengangkat daguku.

"i i iya begitu Pak, ternyata Arum wanita yang kukira angkuh itu sebenarnya peduli kepadaku. Tempo hari dia jatuh sakit. Dan aku tahu semua kebenarannya ketika aku menjenguknya, dia memberikan penjelasan tentang kenapa dia tak memberi kabar kepadaku. Bahkan dia malah sempat meminta maaf karena dia sudah membuat prasangkaku menjadi buruk terhadapnya. Aku merasa bersalah kepada Arum, pak ."

"Terus yang satunya?"

"Dia.. wanita yang membuat aku nyaman, pagi tadi memberikan kabar yang membuatku sedikit timbul rasa cemburu di hati. Memang aku sih yang salah sebenarnya, ketika tadi malam aku janji untuk jemput dia, tapi aku juga yang ingkar dan pada akhirnya dia keluar dengan laki-laki lain, teman satu kelasnya, dengan alasan membeli buku."
"Padahal kan aku ingkar janji karena menjenguk Arum yang sedang sakit, bukan karena aku sengaja untuk ingkar."

"Jadi sekarang aku harus bagaimana Pak ?"

Huhh... Bapak nenghela nafas panjang.

"Gini Lin, pelajaran pertama buatmu. Jangan pernah menilai orang hanya lewat persepsimu saja, oke .. mungkin bisa saja kamu benar, tapi untuk tau kebenarannya kamu harus lihat pada dua sisi dan dua sudut pandang.
Yang perlu diingat, Duga adalah cara paling bodoh untuk menentukan dan memutuskan suatu hal."

"Pelajaran yang kedua, ketika kamu belum yakin untuk bisa menepati janji, jangan sekali-kali kamu membuat janji kepada siapapun. Bukankah lebih baik jika langsung to do action? Daripada mengumbar janji, namun ragu untuk bisa menepati. Ingat, orang yang suka menebar janji namun selalu ingkar dengan janjinya dia adalah seorang pecundang."

"Soal untuk kedepannya bagaimana, baik itu perihal Arum maupun Tari, Bapak kembalikan ke kamu. Kamu sudah beranjak dewasa, Bapak rasa kamu sudah harus bisa untuk mengambil keputusan (terbaik) sendiri.
Karena kamu adalah nahkoda dalam rumah tanggamu sendiri kelak."

Mendengar nasehat dan masukan dari bapak, aku merasa kecil, merasa bodoh, dan merasa tak ada harga dirinya.
Aku malu dengan bapakku.
Aku berdiri, bersimpuh dan meminta maaf kepada bapak. Sambil tersedu ku bangkit dan kupeluk bapakku.

Aku nangis sejadinya, tak mampu kubendung lagi.

Lalu kau bisikan kata di telinga bapakku.
"Terima kasih Bapak..."

Bersambung...

Cinta diatas Keraguan [ ON GOING ]Where stories live. Discover now