02. Undangan

7.8K 670 46
                                    

Pria yang ada didepanku ini adalah kakak tiriku yang membawa sepiring makanan serta segelas air putih di nampan besi.

"Kak Fredy, kakak kenapa datang tengah malam seperti ini?" Tanyaku sambil mengucek mataku

"Maaf ya Thalia, kakak telat membawakan makanan untukmu karena tadi kakak ketiduran" jawab kak Fredy dengan suara yang sangat lembut

"Tidak apa kak, terimakasih atas makanannya, lebih baik kakak kembali kedalam kamar sebelum ibu dan Margaret bangun" sebenarnya aku malas mengucapkan kata ibu.

"Nanti kalau sudah langsung cuci ya, kakak pergi dulu" ucap kak Fredy dan berjalan perlahan kembali kedalam kamarnya, padahal suara langkah kakinya sangat keras jika ditelingaku.

Aku memakan makanan yang diberikan oleh kak Fredy dengan lahap karena aku memang sangat lapar, ini salahku sendiri karena tidak makan tadi.

Buru-buru kuhabiskan makanan yang dibawakan Kak Fredy lalu mencucinya di dapur dan kembali ke kamarku dengan sangat cepat agar tak membangunkan siapapun secara diam-diam.

._._._.

Pagi datang dengan begitu cepat, kali ini aku bangun lebih cepat karena aku tak ingin dibangunkan oleh Mak lampir itu dengan teriakan dan membuat perasaanku buruk selama seharian penuh.

Aku mengambil sisir di laci dalam lemariku dan menyisir rambut putihku, tak lupa kuikat rambutku seperti ekor kuda agar rambut panjangku ini tak menggangguku saat mengerjakan pekerjaan rumah.

Bergegas aku pergi keatas untuk menyiapkan sarapan.

Saat aku tiba di dapur, aku terkejut melihat Mak lampir dan anak perempuannya yang najis, caper, sok cantik dan munafik itu sedang memasak di dapur.

Aku membelalakkan kedua mataku, sangat terkejut melihat mereka berdua memasak di dapur. Jangankan masak, menyentuh sabun cuci piring saja tidak pernah.

Setelahnya aku kembali mengedarkan pandanganku. Di meja makan, aku melihat Kak Fredy yang duduk di sebelah seorang pria paruh baya, wajahnya nampak sangat tidak asing bagiku. Orang yang ikut mendukung kehadiranku disini dan memperlakukanku dengan sangat baik selain Kak Fredy.

"Ayah!"

Aku langsung berlari menghampiri ayah dan duduk di kursi di sebelahnya.

Ayah menengok kearahku lalu memasang senyuman hangat di wajahnya, senyuman yang selalu kurindukan dan menjadi penghangat untuk hatiku di rumah yang dingin ini.

"Anak ayah yang cantik udah bangun rupanya"

Ayah mengelus rambut putih panjangku masih dengan senyum hangat tercetak jelas di wajahnya. Hanya melihat senyumannya saja hatiku bisa terasa begitu tenang, hangat, dan merasa aman saat didekatnya. Walau begitu tetap saja wajahku tidak bisa menunjukkan senyuman balik, karena ekspresiku memang sudah kaku sejak dulu karena aku sendiri tidak suka menunjukkan perasaanku melalui ekspresi.

Di momen kebahagiaanku ini, aku bisa merasakan tatapan tajam dan aura yang mengintimidasi dari arah dapur tertuju kearahku. Tanpa melihat pun aku sudah tau siapa orangnya.

Sirik amat jadi orang, kerjain yang bener kerjaannya sana

Melihat mereka yang sepertinya membenci melihatku bermanja-manja dengan ayah memunculkan sebuah ide di kepalaku.

Aku memegang tangan ayah lalu memeluknya dan mulai bergelayut manja pada ayah sembari bersikap layaknya anak kecil.

"Thalia kangen ayah tau, ayah kangen Thalia 'gak?" ujarku dengan suara seperti anak kecil yang dibuat-buat.

Ayah tertawa kecil. "Pastinya dong, mana mungkin ayah gak kangen sama anak ayah yang cantik ini"

Bisa kurasakan aura membunuh dari arah dapur itu semakin pekat disertai dengan tatapan sinis dan tajam. Aku tidak mempedulikannya sama sekali dan malah merasa puas, kunaikkan salah satu sudut bibirku diam-diam, dalam hati aku meneriakkan kemenanganku.

Diamond Academy [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang