Tak Ada Perlawanan

216 26 8
                                    

الثَّيِّبُ أَحَقُّ‏‎ ‎بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا‎ ‎وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا‎ ‎أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا‎ ‎وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.”
(HR. Muslim no. 1421)

○●○●○

Berapa menit lalu Ainun baru saja melaksanakan solat subuh. Banyak waktu ia habiskan di atas sajadah dengan menadahkan kedua tangan, ia menangis dan bersimpuh pada sang pemilik segalanya untuk mendatangkan sebuah kejaiban di hari ini. Karena apa, karena tepat hari ini pernikahan yang tak pernah di harapkan Ainun akan di laksanakan.

Setelah satu minggu menyiapkan semua dengan berat hati, akhirnya acara ini memang akan benar-benar terjadi. Ainun seperti tidak bisa mengindar kembali, dan tidak bisa menentang. Keinginan di dalam hatinya tentang sebuah pernikahan impian, kini harus tergerus tanpa ampun oleh realita.

Ainun di paksa bungkam dengan kenyataan takdir.

"Cut dek! Masa lama kah kamu di dalam? Perias sudah menunggu."

Suara dari sang bibi itu mulai memanggil. Memang, semalam keluarga besar Ainun datang dan sekarang sudah memenuhi rumah Ainun yang biasanya sepi.

Karena tak ingin membuat sang bibi khawatir dan terlalu menunggu lama, Ainun pun melangkahkan kakinya keluar ruangan khusus solat itu--setelah tadi merapihkan alat solat.

Ainun membuka pintu, lalu terlihat bibinya itu tersenyum gembira. "Ayolah ke kamarmu, perias sudah menunggu. Nanti kalau pengantin pria datang dan kamu belum bersiap, bisa gawat kan?"

"Iya, Ma cut."

Gadis itu kemudian mengikuti langkah sang bibi ke kamarnya. Di sana memang sudah ada perias khusus dirinya yang sudah membuka alat make up yang nanti akan di poles pada wajah cantik Ainun. Ada pun kamar Ainun yang sekarang sudah tampak berbeda, karena sudah di hias sedemikian rupa seolah terlihat seperti kamar pengantin. Mereka terlalu berlebihan, itu lah menurut Ainun.

"Nah, duduk lah kamu di sini. Ma cut akan mempersipakan yang lain dahulu." Perintah sang bibi seraya mendudukan Ainun di kursi yang telah di sediakan.

Setelah itu sang bibir berlalu di sana, meninggalkan Ainun beserta wanita perias di hadapannya. Ainun menatap kosong, semangatnya hilang, jiwanya seolah tak hidup.

"Masyaallah, ini matanya kenapa sembab gini, Mbak? Pasti gara-gara nangis karena akan pisah sama orang tua ya?" Komentar perias itu di kala melihat mata sembab Ainun.

Ainun hanya diam tak menanggapi. Ia semalam memang menangis, dan karena hal itu lah mengapa matanya menjadi sembab. Akan tetapi alasannya berbeda seperti yang di ucapkan perias tadi. Ainun menangis bukan sedih karena berpisah, akan tetapi Ainun menangis karena semalam ia memohon-mohon kepada Tio untuk membatalkan pernikahan. Memang terlihat gila. Tetapi, itu lah kenyataannya.

Usaha Ainun menangis sekaligus memohon itu tidak lah membuat hati Tio luluh. Pria paruh baya itu tetap kukuh terhadap keputusannya dan mungkin saja semua itu sudah terlanjur terjalani hanya tinggal menunggu akad. Bagaimana bisa Tio menanggung malu ketika semua terbatalkan begitu saja, bukan?

Unconditional LoveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora