Pengakuan Rey

616 106 91
                                    

"Reyyy .... gue sayang sama lo," satu kalimat itu, akhirnya keluar. sekencang angin yang baru lewat barusan.

Jawabannya hanya keheningan, tidak ada respon apapun, yang aku tangkap hanya hembusan angin yang datang berlawanan, gila emang, ngapain aku berdiri di balkon sekolah yang notabenya semua orang udah pada pulang. Tapi perasaanku masih sakit, masih ingin di keluarkan dengan lantang, setengah pipiku sudah basah, biarkan hari ini aku merasakan sakit yang besok akan langsung sembuh.

"Gue sayang sama lo Rey, udah lama .... lebih tepatnya gue itu cinta sama elo, gue nggak ngerti sama perasaan gue yang sebenernya, yang gue tahu, gue-cinta-sama-lo!!"

Bodo amat, dengan hari ini. Setidaknya dalam seumur hidup, aku pernah ngungkapin perasaan itu pada orang yang gak bisa aku ungkapin sama sekali, karena percuma jawabannya pun bakal sama, dia juga gak akan ngerespon apa yang barusan aku katakan.

"Aaaaa, gue nggak akan nyerah pokonya." teriak menggelegar, mengalahkan angin ribut yang sedang datang, aku muak dengan semua rahasia yang disimpan selama bertahun-tahun ini. Please izinin aku masuk ke hati kamu Rey.

"Sempurna," ucap seseorang dari belakang kursi duduk panjang yang membuatku jatuh seketika, bukan setankan? Tebakku.

"Lo ... lo siapa?" ucapku reflex menutup mata dengan ke dua tangan, yang masih bisa aku lihat dari sela-sela tangan yang terbuka.

laki-laki itu bangkit dari tempat dia berselanjar, membukakan wajahnya dari almet membalikkan layar Hpnya lalu menyetel sebuah video yang baru tadi ia rekam.

"Itu gue, hapus nggak!" Ternyata prasangka aku salah, dia manusia bukan hantu yang aku maksud, aku berdiri mengambil sebuah posel yang dia pegang. Sayangnya badannya terlalu tinggi, hingga aku sulit untuk menggapai tangannya. Jarak kami terlalu dekat, hingga aku mundur dan hampir tersandung. Dengan cepat ke dua tangannya meraih tubuhku agar tidak jatuh, sayang dia menopang tubuh hanya dalam hitungan detik, lalu aku jatuh ke lantai.

"Sialan!!!" Aku mengumpat kencang, merasakan sakit di pantat.

"Perasaan bertepuk sebelah tangan ya?" tanyanya lalu menyimpan hpnya ke dalam saku celana.

"Nama lo siapa?" tanyanya, tanpa memperhatikanku yang masih berbaring di lantai.

"Renata."

"Gue tunggu lo, di sekre jurnalistik, kalo lo mau video ini aman." Ancamnya yang membuatku setengah frustasi.

"Jam 10 pagi, sehabis bel istirahat, lo harus segera masuk ke sekre jurnalistik." Ancamnya lagi, yang buatku berteriak yang kedua kalinya, siapa? Dia siapa?

Langit semakin legam, meninggalkan aku sendiri di antara keributan pikiran ini, aku sudah pulang memakan satu mangkuk nasi berserta mie yang sudah habis dengan cepat. Tidak ada pesan masuk, tidak ada video call, dia gak kangen apa dan gak ngerasa kalau dirinya udah berubah.

"Syaaa, masih idup?" tanyaku yang sekarang menambah es krim yang ke dua untuk segera aku makan.

"Masih, bentar lagi gue mau menghadap malaikat Azroil nih, kalau lo cerita tentang Rey lagi,"

"Enggak beda kok, bener-bener beda," ucapku setengah menahan ketawa.

"Tumben."

"Iya saking tumbennya, gue nelepon lo jam 11 malam."

"Sya, lo tahu enggak siapa ketua Jurnalistik?"

"Tahu dong, itu ekskul susah banget masuknya, sama ketuanya kejem banget tapi hangat kalau udah kenal."

"Siapa?"

"Kak Fahmi, kakak kelas kita."

"Kenapa lu nanya-nanya gini?" tanya Syasa setengah menguap yang langsung aku dengar di balik telepon.

"Sya ... tadi gue ketemu sama orang yang nyuruh gue dateng ke sekre jurnalistik, aduh gue bego, kenapa gue harus ngelakuin hal konyol, kenapa gue harus ngungkapin perasaan di balkon sekolah? Aduh Sya besok gue gimana dong?"

Hening tidak ada jawaban, hanya terdengar dengkuran halus dari balik telepon.

"Halo Sya?"

"Hemm."

"Lo udah tidur Sya?"

"Hem." Jawabnya kembali meredup, yang langsung aku tutup teleponnya, lain kali gak usah diangkat kalau udah ngantuk jadi kesambung deh ceritanya.

"Lagi apa Rey?" kali ini aku memberanikan diri menelepon Rey dengan membuka layar handpone, memperlihatkan wajahnya selalu tenang, entahlah kenapa aku harus meneleponnya jam segini, atau mungkin gara-gara ke pikiran video sore tadi, benar-benar daya mengantukku tidak bisa menurun, bisa-bisa mata ini masih terbuka sampai besok. Sambil memikirkan gimana reaksinya saat vidio itu kalau udah ke sebar.

"Baru aja, gue baru balik dari studio musik." Reyhan mengatur layar ponselnya agar jelas.

"Ada apanih? Biasanya kalau gini pasti ada maunya," tanyanya yang membuatku tidak bisa merespon apapun.

"Rey, kalau besok lo nonton video cewek lagi teriak-teriak di balkon itu bukan gue ya," ujarku setengah bingung, menjelaskannya dari mana?

"Eh, apansih tadi gue ngomong apa?" ralat, di detik berikutnya setelah kalimat itu keluar.

Rey meresponnya dengan tawa khasnya, melihatku yang serba aneh hari ini, harusnya setelah dia tertawa, aku teriak-teriak di depan bantal, tapi yang aku lakukan hanya bengong tanpa tahu harus ngomong apa.

"Coba liat deh keluar," perintah Rey, membalikkan layar hpnya ke langit yang sekarang berwarna hitam.

Bintang? Aku tersenyum lebar, membuka kenangan satu tahun lalu, inget enggak dulu pas kita kabur dari rumah buat pergi ke pantai ngeliat banyak bintang di sana? Membawa bekal yang banyak, ke sasar dan satu lagi sehabis bintang itu berjatuhan, langit hitam mulai memudar memunculkan matahari yang terbit dengan indah.

Rey menyetel lagu dari payung teduh, lagu yang sama yang ia putar kala itu.

Di malam hari

Menuju pagi

Sedikit cemas

Banyak rindunya

Tuhkan Rey, aku jadi tambah deg-degan, gak siap buat kehilangan kamu selamanya, gak siap kalau kaki ini melangkah udah gak ada kamu lagi, kalau pun aku berani ngungkapin perasaanku sendiri, apa yang akan terjadi? Yang aku mau, kamu tetap ada, meski di pendam jadi sesak tapi itu lebih baik ketimbang persahabatan ini jadi rusak.

Temen yang gak ada duanya, dan orang yang gak bisa aku gapai selamanya.

"The moon is beautiful isn't it?" ucap Rey, yang terdengar menghela napas.

"Gue udah jadian sama Mina."

Terjebak Friendzone Where stories live. Discover now