Pantai Dan Cerita

425 82 39
                                    

Jarang-jarang hari Minggu dilewati kaya gini, tadi udah ngapain aja ya? Baca buku udah, masak buat makan sendiri udah, nonton udah, main game juga udah, nonton anime udah. Tahu-tahu udah jam 3 sore, mati kutu rasanya, habis ini ngapain ya? Kaya gitu terus, apalagi stok bacaan di rumah udah mulai abis, kalau ke toko buku males.

"Na ... main gih, bosen liat kamu bengong kaya gitu."

"Enggak ah males, gak ada project lagi Bang? Tumben seharian di rumah."

"Enggak, masa kerjaan terus yang di pikirin, main juga butuh, keluar gih cari udara seger kek,"

"Temen kakak juga mau dateng ke sini."

"Siapa?" tanyaku penasaran, sudah hampir 6 bulan, bang Beno gak pernah ngajak temen-temennya main ke sini, ya sejak projek kampusnya udah dateng bang Beno juga jadi jarang main.

"Fahmi, Kakak kelas kamu udah kenalankan?"

"Fahmi? Fahmi ketua jurnalistik?" tanya memastikan, dan berharap bukan orang itu yang bang Beno maksud.

"Iya, udah kenalankan?"

Pantes, dia tahu kebiasaan jelek aku, pasti semuanya bocor dari bang Beno.

"Udah, nyebelin banget orangnya. Tahu enggak kalau ada dia pasti emosi aku selalu naik."

"Nanti-nanti kalau udah suka sama dia, emosinya pasti beda." ledek bang Beno.

Aku bergidig, menatap bang Beno dengan sebal. Memang Fahmi itu ganteng, wajahnya aja mirip kaya orang Jepang, tapi aku gak bisa bayangin, kalau aku jadian sama si keju itu, hari-hari yang dilewati pasti aja berantem.

Tepat saat hendak keluar, dengan baju ala kadarnya, pintu rumah berbunyi itu pasti Fahmi.

"Bang, aku keluar dulu ya."

"Siap, nanti telepon Abang ya, kalau ada apa-apa."

"Adek lo aneh," ucap Fahmi datang tanpa permisi. Dan malah menghempaskan pantatnya ke sofa menyetel TV.

"Lo kali yang aneh, masuk-masuk ke rumah orang Assalamualaiku kek, ucapan selamat sore kek, malah nyelonong gitu aja." teriakku yang gak mau kalah, aku keluar dengan baju piyama berwarna biru yang belum di lepas dari pagi. Ogah genti baju mending di pake, kan sayang, baju ini belum kotor-kotor amat.

Di jam 3 sore gini enaknya ngapain ya, nongkrong di kaffe? Enggak ah, itu jam malam kalau nongkrong di kaffe, ke perpusda? Males. Sampai akhirnya aku hanya di duduk luar rumah. Ngeliat langit yang isinya bersih, bikin adem sama warna birunya.

"Na ..." lirih Rey menghalangi langit itu, yang membuatku langsung tersentak kaget. Karena kedatangannya secara tiba-tiba.

"Rey," ucapku setengah tak percaya, ini gak mimpikan? Udah berapa kali aku meneleponnya, dia enggak pernah sekali pun menganggkat panggilanku. Kalau datang ke ruang bandnya pasti aku cuma bisa natap dia dari bilik jendela luar tanpa bisa berhadapan dengan Reyhan.

"Na ..."

"Iya."

Aku membenarkan posisi duduk, menatap lama matanya, dan aku tahu pasti dia lagi ada masalah.

"Kenapa?" lirihku pelan.

"Enggak kenapa-napa, ikut gue yu."

"Tunggu, gue mau genti baju dulu, kasih gue waktu lima menit."

"Gak usah, ayo jalan."

Aku menatapnya skeptis, serius pake piyama gini jalan-jalan? Sedangkan Rey memakai jaket army yang cocok untuk jalan-jalan.

"Gak papa, ayo." Rey menghidupkan motornya, yang terparkir di depan, aku menyusul dari belakang tanpa balik ke kamar untuk mengganti pakaian, dulu pas SMP sering banget di ajak jalan ke sana-sini, atau kalau pulang sekolah kemalaman biasanya Rey suka nganterin aku sampe rumah, tapi semua itu berubah sejak dia masuk band, seolah-olah gak ada waktu lagi buat aku. apalagi dengan Mina, hadirnya Mina seperti membuat jurang yang tidak akan bisa aku sebrangi meski aku meminta pertolongan.

Wanginya tetap sama, harumnya yang selalu aku endus saat naik berada di belakang motornya, Aroma downi warna biru. 2 jam, waktu yang ditempuh untuk bisa ke tempat ini. Menerjal jalan yang sangat licin karena habis hujan, aku mempererat pelukannya dari belakang, atau kadang aku suka ngerentangin tangan saat udara udah mulai kerasa kenceng. Dan ini dia, pantai watu leter. Pantai yang sering banget aku kunjungi sama Rey.

"Kenapa?" tanyaku sekali lagi, Rey masih belum menyambutku dengan sebuah jawaban.

"Enak ya, sore kaya gini liat pantai, ngerasa semua beban ilang,"

"Kaya yang punya beban aja Rey,"

Dia tersenyum sebentar, lalu menumpahkan air matanya yang membuatku bingung kenapa? Tidak biasanya dia seperti ini. "Pada akhirnya, orang yang bersama gue itu bakal ngilang Na. Secara perlahan, nyokap, lo dan mungkin gue sendiri Na."

"Ngomong apaansih Rey, gue gak ngerti."

Rey memelukku secara spontan, membiarkan aku penuh dengan tanda tanya tanpa aku tahu apa maksudnya. Aku memejamkan mata merasakan sensasi hangat dan juga takut dari pelukannya yang bias.

"Gak mungkin Rey, lo bakal kehilangan gue. buktinya gue nyusul lo ke Malang, dari tetanggaan, sekelas, satu sekolah, gue gak mau kehilangan lo Rey. Lo jugakan?"

Rey terdiam sebentar, lalu tersenyum bias lagi, yang sulit kucerna maksudnya apa.

"Oh iya, kado dari gue udah lo terima?" tanya Rey sambil tertawa.

"Udah lama gue terima, malah gue buang, lo kenapa ngasih gue batu?"

"Haha, bukannya panggilan lo itu meghantropus malangnikus?"

"Karena gue langka, mahluk yang harus di budi dayakan yang tinggal di Malang? Gitu maksud lo?"

"Nah itu lo tahu." Dia tertawa kembali.

Tanpa ampun kakinya yang panjang itu aku injak, sampai akhirnya kami bermain kejar-kejaran sambil lempar pasir. Rey juga gak mau kalah membalasku dengan lemaparan yang lebih banyak dari gemgamannya.

Senja di sini juga sangat indah, ini tempat kita berdua, yang mana Rey gak boleh ngajak orang lain, termasuk aku gak boleh ngajak orang lain. Ya tempat kita berdua.

"Cape juga ya?"

"Tapi gue seneng, kalau ada lo semuanya jadi mudah buat gue."

"Masa?"

"Gak percaya ah."

Rey, menyetel musik dari handponenya yang membuatku mengantuk.

"Jangan dulu ngantuk, ayo berdiri."

Aku menatap Rey dengan bingung, mau ngapain?

Satu uluran tangannya memaksaku untuk berdiri, lagu-lagu itu terus menuntunku untuk mengikuti gerakannya, menari di depan pantai dan menginjak pasir halus, aku pasti gila, ini ilusikan?

Kedua tanganku dan ke dua tangannya menyatu, memutar ke kanan, ke kiri lalu memutar lagi di hadapannya.

"Gue suka sama lo, lo mau jadi pacar gue?"

Apa? Dia gak salah ngomongkan, aku menyusut air mata, ini mimpi indah, yang selama ini kutunggu akhirnya datang juga, hadir di waktu yang tepat. Seperti bunga tidur yang sangat indah.

"Lo maukan jadi pacar gue Mina?"

"Hah, apa?"

"Iya, pasti Mina bakal nerima guekan, kalau gue ngajak dia dansa kaya gini, lo aja sampai nangis."

Mina ... Mina, aku menyebutnya sekali lagi. "Lo mau nembak dia?"

Rey mengangguk dengan senyum, dan entah kenapa dia langsung memegang kepalanya yang seperti kehilangan ke seimbangan.

"Dia pasti nerima lo, kalau lo nembak gini." aku mengusap air mata, memeluknya tiba-tiba. sekaligus menahan amarah, ternyata ini bukan untukku tapi untuk orang baru yang akan hadir di kehidupan Rey.

"Jadi temen gue ya Na, selamanya. Entah perayaan yang ke berapa untuk persahabatan kita, gue pengen setiap tahun lo ada di samping gue."

Aku mengangguk di balik pelukannya, selamanya aku hanya bisa menempati posisi itu sebagai teman. Tidak lebih.

Terjebak Friendzone Where stories live. Discover now