Amarah

490 73 30
                                    

Rumah ini benar-benar sepi, gak ada siapa-siapa, sama seperti minggu-minggu kemarin pas bang Beno pergi buat ngerjain project arsiteknya, benar-benar di tinggal sendiri lagi, kalau aja kaki sebelah gak patah, mungkin sosok yang selalu menyebalkan itu kehadirannya nggak akan aku butuhkan.

"Di rumah lo gak ada makanan?" tanya Fahmi saat kulkas yang dibuka hanya ada telor sama air putih.

"Gak ada, paling kalau lapar cuma makan mie instan."

Fahmi mulai menyetel musik barat, katanya kalau lagi masak sambil nyetel musik bisa bikin makanan jadi enak, aku hanya mengaguk dengan tatapan seolah-olah mengerti, padahal enggak, sambil menunggu jadi, aku mencoba untuk mengistirahatkan pikiran ini sebentar.

"Woiii bangunnnn." teriakan dari ketel yang terus di pukul-pukul itu, membuatku bangun seketika di hitungan ke 10 menit.

"Dasar lo ya, gak bisa bikin gue tenang bentar."

"Lagian lu ngorok, bikin suasana masak gue kacau, gih makan udah jadi."

"Masa secepet itu, mustahil."

"Nggak pake racunkan?" selidikku, siapa tahu dia menaruh bahan-bahan basi yang dicampurkan ke dalam itu, atau ada kecoa atau udahlah, pokonya enggak seratus persen makananya itu sehat.

"Makan aja ribet banget. Cobain makanananya." Fahmi menaruh nasi goreng di hadapanku, yang kuraih dengan pelan.

"Iya ... iya kaki lo masih sakit dan masih dalam pengawasan gue, kenapasih Bang Beno punya adek kaya lo, nyusahin banget." sambung Fahmi mengambil nasi goreng itu dan menyuapiku dengan pelan.

Satu suapan masuk ke dalam mulutku, dan berharap nggak terjadi apa-apa, dan hasilnya di luar ekpetasi. Enak banget.

"Jago masak juga?"

"Ngapain nanya," ucapnya dengan nada setiro.

Kalau aja malam tadi, enggak di jemput paksa sama Fahmi. Mungkin sosok yang selalu membuat hatiku bergetar itu bakal datang ke sini, sampai membuat aku makan, ngebantu aku berjalan. sayangnya ini perintah bang Beno yang gak bisa aku sergah.

"Kenapasih, lo gak tidur di sekre jurnalis aja? Kan bisa gue awasin."

Nah itu dia, kalau di sana yang ada aku nangis mulu, ingetkan Fahmi suka ngebentak aku pas bikin redaksi pertama? Itu yang buat aku gak mau balik ke sekre jurnalis.

"Ketiduran, kan tugas gue dua lagi, wawancara sama bikin redaksi, wajarlah di perpus banyak referensi yang bisa gue baca, kalau di sekre jurnalis yang ada gue dibentak terus," ucapku yang sedikit pun tidak khawatir dengan setumpuk nasi yang sedang di kunyah.

"Lo laper ya?" tanyanya sambil ketawa.

"Gue mandi dulu ya."

"Di sini?" tanyaku tersentak.

"Emang, Abang lo gak ngomong, gue bakal tinggal seminggu plus jadi guru privat matematika lo?"

"Enggak? Sejak kapan?"

"Sejak tadi sore, dia ngirim pesan ke gue."

Jawabnya sambil melongos ke kamar bang Beno, bentar tadi dia bilang seminggu? Gak salah? Berangkat sama pulang sekolah juga bareng dong?

***

"Na, buruan mandi, udah di siapin makanan, jangan lupa makan obat dari dokter yang kemarin."

Hah, ini beneran atau mimpi, dia gak salah makan obatkan? Kenapa dia jadi aneh, dengan segala ke khawatirannya menumpuk di hari pertama kami serumah.

"Buruan berangkat, nanti ke siangan," aku mematung di tempat menampilkan ekpresi bodoh, ini siapasih? Kok aneh banget rasanya.

Bukan lagi motor tapi mobil berukuran sedang berwarna merah, sudah terparkir di depan, katanya kaki aku masih sakit, jadi dia pinjem mobil bokapnya buat antar jemput aku tiap hari.

Terjebak Friendzone Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin