Chapter 17

137 43 15
                                    

Sesungguhnya rasa gengsi adalah salah satu faktor kegagalan.

●●●

"Bi apa Lauren berhenti sekolah aja?" tanya Lauren kepada Bi Ijah ketika mereka sedang makan malam.

3 hari yang lalu Bi Ijah sudah mendapatkan pekerjaan walau pekerjaannya masih sebagai pembantu, tetapi mereka sangat bersyukur.

"Eh jangan non."

"Tapi bi, biaya sekolahnya kan mahal."

"Bibi pasti usahakan, bibi mau kamu jadi orang sukses, jangan kayak Tasya yang sekarang pun dia kabur entah kemana."

"Bi... Makasi ya," ucap Lauren dengan penuh haru karena dia merasa ada satu orang lagi yang melindunginya, yaitu Bi Ijah.

"Aku janji bakal bahagiain bibi."

***

"Nih." Bi Ijah menyodorkan uang dua lembar 10.000. "Bibi cuma punya uang segini, cukup gak non? Bibi gak punya uang lagi."

Lauren hanya mengambil satu lembar uang 10.000 dan sisanya dikembalikan lagi ke Bi Ijah. "Segini aja cukup bi, aku gak bakal jajan, ini cukup buat ongkos," ucapnya sambil tersenyum.

"Loh uang 10.000 hanya cukup untuk ongkos pulang pergi aja non."

"Iya gapapa bi, Lauren berangkat dulu ya."

"Hati hati di jalan non," teriak Bi Ijah dengan senyuman yang terukir di wajah yang kian hari kian keriput.

"Iya bii," jawab Lauren dengan teriak juga.

Hari ini Lauren memasuki semester 2 di kelas 10, kembali bertemu dengan teman-teman yang selalu mengejeknya, termasuk bertemu dengan saudara tirinya. Tapi mulai hari ini dia akan mencoba berusaha untuk bersikap tidak peduli dengan semua ejekan dari temannya.

Setelah libur 2 minggu, akhirnya dia kembali menginjakan kakinya di lingkungan sekolah, tempat pertama kali dia benar-benar menguji mentalnya.

"Kok masih duduk di sini?"

"Kan emang kursi gue di samping lo."

"Gak pindah? Kan sekarang udah ganti guru wali kelas."

"Lo ga liat tuh kursi di kelas ini udah pada diisi, lagian siapa lagi yang mau deket deket sama lo, kecuali gue. Nih gue duduk di samping lo, deket kan? Gue kan orangnya baik dan mau berteman sama siapapun," ucap Sean dengan berlagak sombong.

"Hm iyaa."

"Yaudah pindah, kursi kamu kan sebelah kanan bukan sebelah kiri," tambahnya.

"O iya lupa. Selow dong borrr."


Seperti biasa, hari pertama sekolah pasti banyak jam kosong. Kelas Lauren sangat ramai karena temannya saling bercanda tapi dia hanya membaca buku sendirian. Matanya tertuju pada novel yang ada di atas meja, tapi pikirannya tidak. Memikirkan bagaimana dia bisa membantu perekonomian Bi Ijah.

"Apa ya pekerjaan yang cocok buat aku?"

Pikirannya penuh dengan bagaimana dia bisa mendapatkan uang. Tapi dia teringat keahliannya dalam membuat kue brownies.

"Oh apa jualan kue brownies aja ya?" Terlintas ide itu dipikirannya, dan dia memutuskan untuk mencoba berjualan tapi jika uang untuk modal yang dia butuhkan sudah cukup.

Keahliannya dalam membuat kue mungkin karena Mita. Waktu Lauren masih home schooling, dia sering merasa bosan sehingga Mita selalu mengajaknya untuk belajar membuat kue. Sekarang, pengetahuan yang Mita ajarkan akan berguna untuk putrinya.

Lauren memutuskan untuk pulang berjalan kaki, walau jaraknya lumayan jauh tapi dia lebih memilih uang 5.000 nya di tabung untuk modal jualan kue brownies. Dia tidak mungkin akan meminta modal ke Bi Ijah, dia juga akan berusaha untuk menjadi sosok gadis yang mandiri di usia muda.

Tak henti-henti Lauren memotivasi dirinya untuk menjadi orang yang sukses. Rasa gengsi pun akan sepenuhnya dia hilangkan, karena mau melakukan apapun jika masih merasa gengsi, itu tidak akan berhasil.

Wanita Sapu Lidi [HIATUS]Where stories live. Discover now