KLINIK PSIKOLOGI

17.8K 1.1K 58
                                    

Assalamualaikum, happy reading! Mood aing lagi bagus-bagusnya nih buat revisi brutal. Jangan lupa vote dan komennya, yah!!!

📌

📌

📌

Audrey duduk di kursi tunggu sambil memegangi kedua lututnya. Wajah kusutnya menunjukkan bahwa ia sedang sebal. Deretan pagar putihnya menggigit ujung bibir dalamnya pelan. Benar, kan praduganya saat di sekolah tadi kalau Ardan akan membuatnya semakin kesal?

Audrey kini berada di dalam klinik psikologi, bangunan yang berdiri kokoh tepat di samping rumah sakit jiwa. Otak Audrey sempat membayangkan jika ia akan diseret masuk ke dalam rumah sakit itu. Huh, membayangkan ini sudah membuat bulu kuduknya merinding. Untung Audrey belum memberitahu Ardan tentang dirinya yang fobia orang gila. Kalau Ardan tahu, sudah pasti pemuda itu akan menjahilinya.

Ada kisah di mana dulu ketika umur Audrey tujuh tahun, saat itu ia duduk di bangku kelas dua SD, pernah dipeluk erat oleh orang gila. Namanya Lengko. Dia mengatakan bahwa Audrey adalah anaknya. Walau Audrey yang kecil sudah membantah perkataan itu sambil menangis histeris, tetap saja si Lengko tidak mau melepaskannya. Untung saja ayah Audrey datang tepat waktu sehingga membantu putrinya yang ketakutan. Kalau tidak, bagaimana nasib Audrey kecil?

Cerita dari orang-orang sekitar, si Lengko ini gila sebab anaknya yang hilang pasca ia melahirkan. Parahnya, orang yang menghamili dia angkat tangan, sama sekali tidak bertanggung jawab. Lelaki itu lari dari kenyataan. "Lelaki begini nih paling cocok dibasmi dari permukaan bumi,"  pikir Audrey sampai saat ini jika mengingat tentang cerita itu.

Hingga Audrey tersadar ketika melihat Ardan keluar dari sebuah ruangan setelah lima belas menit meninggalkannya sendirian. Kaki Ardan yang panjang melangkah menuju tempat Audrey duduk dengan elegan. Para pasien di situ tanpa berkedip memperhatikannya seolah kagum dengan wajah tampan milik seorang Ilmuawan Ardan Dirgahayu.

"Idih, sok kegantengan banget. Tapi, emang ganteng, sih," dalih Audrey pelan, memutar bola matanya malas lalu membuang pandangan ke arah luar.

"Ayo!" ajak Ardan sudah berdiri di depan Audrey seraya mengulurkan tangannya.

"Apaan?" ketus Audrey tanpa melihat Ardan.

"Ke ruang psikolog," jawab Ardan cepat.

Audrey sama sekali tidak memberikan respons. Audrey rasa kejiwaannya terjaga baik. Mental dan fisiknya juga masih sehat. Ngapain harus ke sana?
Sedangkan Ardan mulai menurunkan tangannya yang tadi mengambang cukup lama di udara untuk menunggu sahutan tangan Audrey. Lalu Ardan mengembuskan napasnya kasar, ia terganggu dengan sikap gadis di hadapannya yang tak bergeming.

Ardan menatap gadis itu dengan penuh sabar. Sesekali matanya menyapu keadaan sekitar, lumayan sepi untuk melakukan aksinya. Sudut-sudut bibir Ardan mulai mengembangkan kelicikan. Dengan penuh percaya diri, Ardan menggendong Audrey di depan semua orang.

Tubuh Audrey pun membeku tiba-tiba mendapatkan perlakuan seperti ini. Mulutnya terbungkam, tidak mampu berbicara lagi. Matanya melebar tidak percaya. Napasnya susah menarik oksigen di sekitarnya, seakan menyeleksi dulu udara yang akan masuk ke badannya. Jantungnya jangan ditanya lagi, sudah pasti berdegup luar biasa.

"A-Ardan turunin gue, woi!" bisik Audrey gugup, malu menjadi tontonan semua orang di sana. Mau memberontak, tetapi takut nanti malah dikira memang dirinya benar-benar harus dibawa ke ruangan psikolog. Sementara Ardan tentu saja ia mengacuhkan permintaan Audrey. Ia tetap melangkah dengan mantap membawa Audrey masuk ke ruangan psikolog.

POSESIFNYA KETUA OSIS (REPUBLISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang