22 - First of Us

376 42 2
                                    

Ada kalanya kehidupan tak perlu terlalu dikemas dengan sentuhan drama. Tak perlu melebih-lebihkan sesuatu yang bisa dibuat sederhana. Kita hanya harus lebih kuat dalam fase penerimaan dan mensyukuri kehendak takdir dengan lapang dada.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata

"Jangan pernah mengambil keputusan ketika sedang marah dan jangan pernah membuat janji ketika sedang bahagia."

Orang yang sedang marah biasanya akan bergerak sesuai apa yang dikehendaki egonya. Ia melupakan segala ilmu yang pernah dipelajarinya, membuat cahaya menjadi remang.

Cegahlah sekuat mungkin pengambilan keputusan pada saat-saat seperti itu. Ambil waktu lebih lama untuk memikirkannya lebih dulu.

Itu yang tak pernah absen dikatakan Alvin kepada putra satu-satunya, Arjuna. Sejak kecil ia selalu diajarkan untuk menerapkan setiap ilmu agama yang berdasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah dalam kehidupannya sehari-hari. Arjuna juga merasakan pedihnya penyesalan saat dia tidak menjalankannya. Tuntunan agama memang sangat berpengaruh pada kehidupan kita. Semua yang telah Allah perintahkan atau larang, tak lain adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan kita.

"Kok melamun, mas?"

Suara mendayu milik Yulia serta gerakan tiba-tibanya yang duduk di samping Arjuna, membuyarkan lamunannya.

"Lo mau minum apa? Biar gue buatin" tawar Yulia dengan pandangan yang masih lurus pada netra hitam suaminya. Arjuna berdehem lalu menggeleng singkat.

"Aku belum mau minum, nanti kalau haus aku bisa ambil sendiri. Kamu istirahat aja dulu, mbak. Pasti capek bantuin angkut barang tadi"

Pagi ini Arjuna mengajak Yulia ke apartement baru mereka, tempat kedua insan itu akan tinggal setelah ini. Mereka hanya membawa beberapa barang penting dari rumah masing-masing. Untuk perabotan, Arjuna sudah membelinya sekalian saat pembelian apartement ini.

"Kok tumben Lo manggil diri Lo sendiri 'aku'? Biasanya 'saya'"

"Gak papa, biar lebih akrab aja"

Yulia hanya manggut-manggut, mungkin setelah ini dia juga harus mengubah cara bicaranya, tapi tentu saja tidak sekarang. Yulia perlu waktu untuk berproses menjadi biasa.

"Mas ngelamunin apa tadi? Semua kerjaan kan udah selesai. Kalau ada yang menganggu pikiran Lo, cerita sama gue. Kita kan udah komitmen akan berbagi apa aja"

Arjuna tersenyum, ia mendekatkan tubuh Yulia agar bersandar pada tubuh kekarnya, tangan pria itu tanpa segan merangkul pundak Yuli dan menumpu kepalanya pada kepala gadis itu dengan posisi asal. Benar-benar memperlakukan gadis itu bak sahabat lama.

Bagaimanapun juga, jika kedua orang yang berlainan jenis kelamin berdekatan seperti ini, padahal mereka belum bisa dikatakan dekat, tetap akan menimbulkan kecanggungan. Seperti Yulia yang kini merasa jantungnya bagai diremas dan dipaksa untuk berdetak dengan kecepatan yang tak normal.

"Kamu gak tertekan 'kan? Dengan pernikahan ini?"

Yulia mengerling dan mengerjab beberapa kali. Matanya menoleh pada langit-langit ruang tamu yang berada di sebelah kanan.

"Kenapa harus tertekan? Gue udah anggap Lo kaya sahabat sendiri, mas. Lo juga udah mulai berubah, gak terlalu nyebelin kaya pertama kali kita ketemu"

"Sebenarnya yang sekarang ini, sifat asli aku. Waktu kita pertama kali ketemu, aku masih kalap atas kehilangan Alana. Maaf ya atas perlakuan aku selama ini"

Yulia tertawa kecil lalu meraih ujung rambut Arjuna dan menariknya keras. Bukannya marah, Arjuna malah tersenyum geli ketika sang istri menjambak rambutnya seperti anak kecil.

ARJUNA.Where stories live. Discover now