6 - PAST

37K 5.5K 56
                                    

Pernahkan kau merasa begitu excited saat akan bertemu seseorang, itu pula yang aku rasakan sekarang ini. Setelah menyiapkan makanan yang sebelumnya diambil dari dapur istana dan menatanya di atas meja. Aku dan Sawitri berdiri bersisian di belakang meja, menunggu Gusti Pangeran Anusapati keluar dari kamar pribadinya.

Melirik wajah Sawitri dari samping membuatku agak lega, mengingat beberapa waktu lalu wajahnya nyaris pias tak berwarna. Mungkin efek ngomel sepajang jalan menuju pendopo sang pangeran membuat darah kembali mengalir lancar bahkan terlalu lancar hingga mukanya tampak memerah. Memang salahku sih karena terlalu ceroboh, tetapi bukan salahku sepenuhnya jika orang itu tiba – tiba ada di dekat kami macam jelangkung.

Namun syukurlah bahwa keberuntungan masih berpihak kepadaku. Bayangan kejadian beberapa saat lalu muncul lagi di pikiranku.

"Eheeeem ... Tidak ada ular" Bukan Sawitri yang menjawab pertanyaanku, karena tidak mungkin suaranya berubah parau dan dalam layaknya suara seorang pria. Apalagi jelas suara itu berasal dari arah belakang tubuhku

Menelan saliva kasar aku berbalik dan berhadapan dengan pria ini lagi dan lagi. sejujurya sebelum berbalikpun aku tahu siapa pemilik suara ini. Tetapi bukan karena rasa tertarik apalagi jatuh hati pada sosoknya, namun mungkin karena belum berinterkasi dengan banyak orang, otakku otomatis menyimpan memori tentang orang yang familier.

Tampan ... kata pertama yang muncul di otakku sesaat setelah berbalik badan dan langsung berhadapan dengan sosok tinggi kekar itu. Memandangnya dari jarak kurang dari satu meter membuatku menyadari bahwa sosok Raden Panji adalah karakter yang akan menarik perhatian banyak orang. Walau tidak berdarah biru, namun perkerjaan dan yang terpenting wajahnya tidak dapat dipandang sebelah mata.

Menggelengkan kepalaku guna menghilangkan keterpukauanku pada sosoknya, karena sekarang bukan saat yang tepat untuk mengagumi nikmat Tuhan dalam bentuk pria tampan yang berdiri menjulang dengan berlatar belakang sinar matahari pagi.

Menaikan sebelah alisnya saat memandangku entah mengapa membuatku panas dingin. Apakah sebagai prajurit dia berhak menghukum pelayan istana ? Jika iya, berarti tamat riwayatku. Parahnya dia jelas bukan prajurit biasa.

Mengikuti pandangan matanya ke arah kakiku yang terbuka hingga lutut, membuatku tersadar dan melepaskan cekalan pada kain samping sehingga kain itu kembali jatuh dan menutupi kakiku sepenuhnya.

Hampir semua orang setuju bahwa menunggu adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan, karena entah kenapa waktu berjalan amat sangat lambat. Seperti saat ini, tak sepatah kata yang dikeluarkannya. Apakah dia sedang memilih hukuman yang cocok untuk diberikan padaku.

Dicambuk ?

Dipukul rotan ?

Hanya kemungkinan itu yang terpikir dalam benakku. Tak mungkinkan jika aku akan dihukum penjara atau dipenggal, itu terlalu berlebihan. Tetapi tetap saja pasti sakit dan perih entah dicambuk atau dipukul rotan. Membayangkannya saja sudah membuatku meringis.

Apa ini karma ? Tapi aku tidak pernah memukul murid –muridku senakal apapun mereka, walau hanya menggunakan satu jari saja. Bukan karena takut diberi sanksi atau dilaporkan ke polisi. Namun pendidikan dan kekerasan menurutku sebaiknya dipisahkan. Kekerasan bukan cara mendidik dan pendidikan hasil kekerasan tidak akan menciptakan pribadi yang baik tetapi pribadi yang keras pula.

"Streeeet ... "

Badanku terhuyun ke belakang saat secara tiba – tiba Sawitri menarik tanganku dan membuatku terduduk di tanah tepat sebelahnya. Memandangnya yang sedang menundukan kepala sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya. Tersadar, lalu aku mengikuti apa yang dilakukannya sambil menutup mata berdoa dalam hati memohon keberuntungan lain.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now