Nol-Tiga

314 48 0
                                    

Saat orang-orang dapat dengan nyenyaknya tertidur di malam hari. Saat orang-orang tegah menjelajahi dunia mimpi yang mungkin akan mereka lupakan begitu membuka mata. Di sini, di kamar berpenerangan redup dengan lampu-lampu lava berwarna merah dan oranye, Sheza tengah bergelut dengan rasa sakit yang tidak pernah bisa ia sebut 'terbiasa'. Rasa sakit yang berkali-kali membuatnya melihat aura kegelapan menyelimuti tubuhnya. Rasa sakit yang berkali-kali membuatnya berpikir 'ah, mungkin ini waktunya untuk pergi'.

Sejak pagi, ia memang merasa tak enak badan. Tubuhnya terasa lemas, kepala terasa ringan, dan dada yang terasa berat dan membuat nafasnya sesak. Ia tahu batasannya, dan seminggu belakangan ini memang ia mengurangi aktivitas fisiknya. Padahal, sudah cukup lama sejak ia keluar dari rumah sakit dan tak lagi merasa sakit. Tapi, kali ini, entah datang dari mana, ia kembali merasakan sakit.

"Uhuk! Uhuk!"

Tangan kanannya berkali-kali menekan dada kirinya yang terasa sakit, sementara rasa panas dan berat ia rasakan hingga seluruh lengan kirinya, membuat lengan itu seakan mati rasa. Nafasnya yang sesak itu telah terbantukan oleh masker oksigen yang selalu siap sedia di kamarnya, namun seakan tabung oksigennya kosong, ia tak bisa merasakan kenikmatan bernapas.

Perlahan ia mengangkat tangan kanannya ke depan wajah. Netra sayu yang terbungkus lingkar hitam bak mata panda itu menangkap semburat aura kelabu yang semakin pekat, semakin dekat dengan hitam. Ia tahu aura seseorang yang benar-benar mendekati kematian, tapi saat ini bukan aura seperti itu yang ia lihat pada tubuhnya. Hanya saja, lagi-lagi ia membatin, aku bakal mati hari ini, ya?

Netra sayu itu melirik ke kiri, menatap nakas kecil dengan lampu baca yang padam, terdapat jam alarm digital di bawahnya. Pukul 03.20. Oh, sudah hampir dua jam kayak gini, tapi nggak ada perkembangan.

Lelah dengan rasa sakit, ia pun berhenti berusaha untuk menguranginya. Ia sudah tak mampu bergerak sedikit pun, tubuhnya terasa begitu berat. Ia hanya berbaring telentang untuk menatap langit-langit kamar dengan hiasan stiker glow in the dark berbentuk bintang-bintang. Ia melamun, terlalu lelah bahkan untuk berpikir. Namun, tanpa sadar pikirannya melayang-layang begitu jauh entah kemana, entah apa yang ia pikirkan. Dan, akhirnya ia tertidur seakan terhipnotis oleh pemandangan langit-langit kamarnya.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu kamar membuatnya terbangun. Matanya mengerjap cepat, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Dada masih terasa berat ketika ia mencoba menarik napas, namun ia masih bisa mengendalikan diri untuk tidak terlalu memikirkan keanehan pada tubuhnya akhir-akhir ini. Ia tidak mau membuat sang kakak khawatir. Namun, tiba-tiba terbersit sebuah pemikiran, apa kalau aku sekarat Ayah dan Bunda bisa bersama lagi?

"Oy, Dek. Udah bangun belum? Jam setengah enam, nih. Ntar telat, loh!"

"Okey!"

Usai merapikan oksigen dan selang-selangnya, juga merapikan kasurnya untuk kembali ke dalam laci penyimpannya, Sheza keluar dari kamar dan cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi. Ia tak mau Izhan melihat wajahnya saat ini, karena wajah itu terlihat amat sangat mengerikan, sama mengerikannya dengan makhluk halus-makhluk halus yang sering ia lihat.

Pagi ini, Izhan memasak bubur jagung sebagai sarapan, serta menyiapkan masakan rendah garam untuk adiknya. Jangan salah. Kemampuan memasak Izhan bisa menandingi para kontestan Master Chef, sekalipun itu makanan tanpa garam. Ia tahu betul bagaimana mengakali kehambaran masakan untuk sang adik, demi membuat sang adik memiliki nafsu makan yang baik.

"Pagi ini gue anterin ke selolah agak pagian, ya, soalnya ada visit ke rumah klien dulu sebelum ke klinik," ujar Izhan saat mereka sedang sarapan. "Pulang nanti gue jemput lagi -"

Your True Colour [COMPLETED]Where stories live. Discover now