Nol-Sembilan

184 39 2
                                    

Jam menunjukkan pukul 23.45. Banyak murid-murid yang sudah siap untuk pergi tidur, beberapa bahkan sudah tertidur. Sebagian memakai ruang kelas, sebagian menggunakan laboratirium, atau ruangan klub masing-masing. Tapi, tidak dengan Sheza dan Zacky. Mereka masih terjaga, bahkan tampak tak ada niatan untuk tidur dalam waktu dekat.

Nessa dan Nevan sudah dipastikan telah tertidur nyenyak di kelas mereka, kelas 10 Sains dan 10 Sosial. Sheza tidak mungkin melibatkan mereka berdua, karena Sheza yakin bahwa mereka berdua sama sekali tidak akan mampu menghadapi apa yang harus ia dan Zacky hadapi. Nessa dan Nevan memang beriman meski berbeda dengan Sheza dan Zacky, tapi mereka tak sekuat Zacky untuk bisa menghadapi hal-hal mengerikan ini.

Satpam sekolah berjaga di pos mereka, terjaga untuk memastikan sekolah dan murid-murid aman dan nyaman selama mempersiapkan acara besok pagi. Tak mau menarik perhatian, Sheza dan Zacky duduk di lobi dengan sebuah laptop terbuka di hadapan mereka. Mereka sudah berada di sana satu jam terakhir. Sambil menunggu kehadiran 'mereka', mereka pun menggunakan waktu untuk mengerjakan tugas kelompok yang harus mereka presentasikan hari Senin pada pelajaran Biologi. Yah, mereka hanya mencari kesibukan, meski tugas itu sebenarnya sudah hampir selesai kemarin.

Sesekali Sheza melirik pada jam pintarnya. Ia harus memastikan bahwa jantungnya bisa diajak kerja sama malam ini. Pasalnya, jika Sheza tidak mendapatkan tidur yang cukup, atau tidak tidur sampai dini hari, bisa dipastikan bahwa ia akan tumbang dan dilarikan ke rumah sakit. Ia sudah siaga dengan obat miliknya. Ia pun sudah bertekad untuk secepatkan menyelesaikan masalah ini.

"Ja, tidur, gih."

Sheza menggeleng. "Mana bisa tidur, Jack. Terlalu menegangkan." Ia mengelus dadanya yang berdebar keras dan cepat. "Tolong kerja samanya, ya, jantung."

Zacky tak menanggapi. Ia hanya menatap Sheza yang jelas sekali tertera kecemasan dan kegugupan dalam wajah dan matanya. Meski Sheza selalu mampu mengendalikan emosi dan perasaan, Zacky tahu betul bagaimana Sheza itu. Ia sudah belasan tahun mengenal Sheza. Ia tahu bahwa Sheza hanya selalu bersikap tenang. Hal itu memang harus Sheza lakukan jika tak ingin membebani kerja jantungnya.

Sheza memeluk tubuhnya yang mendadak menggigil. Padahal, ia sudah memakai kaos lengan panjang dan jaket yang cukup tebal. Ia melihat jam pintarnya, menggeser layar sentuh itu pelan. Jam 23.58. Tak terasa bahwa kehadiran mereka yang semakin dekat terasa sangat kuat untuk Sheza. Rasanya, malam ini akan menjadi malam yang menegangkan untuknya.

"Jack, ayo."

Sheza berdiri usai menutup laptop milik Zacky, lalu berjalan meninggalkan lobi menuju pintu lobi. Zacky berjalan menyusul secepatnya, membiarkan laptop miliknya tetap di sana tanpa penjaga dan pengawasan. Bukan tidak peduli, tapi itu memang bukan hal yang penting saat ini. Ia harus selalu ada di sisi Sheza, terutama di saat-saat seperti ini. Ia akan membiarkan Sheza membuka mata batinnya khusus untuk masalah seperti ini, yang kemudian akan ditutup kembali oleh Sheza demi kenyamanan dirinya.

Mereka berdiri di anak tangga teratas teras lobi. Tinggal setengah menit lagi. Sheza pun menaruh tangan kanannya di belakang leher Zacky, mencoba untuk membuka mata batinnya dengan cara sederhana yang telah ia pelajari dari gurunya saat SMP. Tepat saat Zacky membuka mata, 'mereka' telah tiba dan telah berdiri berhadapan dengan Sheza dan Zacky.

Mereka, lima orang anggota Pramuka sekolah pada 25 tahun lalu yang menghilang selama seminggu di Gunung Gede dan ditemukan meninggal dunia di dalam sebuah goa yang telah runtuh. Kelima orang berseragam Pramuka itu masing-masing bernama Jusuf, Galih, Agus, Satya, dan Damar. Terlihat jelas nama mereka pada name tag di seragam mereka. Bahkan, meski mereka telah tiada, mereka masih memakai tas besar mereka, masih memakai seragam Pramuka mereka, dan masih memiliki rupa yang cukup bisa diterima.

Your True Colour [COMPLETED]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu