S E P U L U H

977 138 115
                                    


Selamat Membaca...
.
.
.

Hinata berjalan cepat, sesekali matanya menatap gusar pada jam yang melingkar cantik di pergelangan tangan mungilnya.

Dia terlambat. Bosnya pasti akan marah besar. Hinata merubah langkah cepatnya menjadi lari kecil. Sebagian karyawan menikmati bagian tubuh Hinata yang bergoyang tanpa sang empu sadari.

Mereka sadar Hinata memenuhi kriteria gadis impian mereka kecuali tingkah lakunya yang aneh dan mulutnya yang tak punya rem itu.

Membuka pelan pintu ruangan Naruto. Mata bulannya mengintip kedalam, dahinya mengeryit ketika mendapati ruangan ini kosong. Hinata menegakkan badannya dan dengan sigap membuka pintu ruangan Naruto lebih lebar.

"Kok kosong?" Tanya Hinata pada dirinya sendiri. Hinata tak menyadari jika Bosnya itu berada di balik pintu. Ya, tepat di belakangnya, lengkap dengan gaya yang sangat santai. Bersandar pada tembok dengan tangannya di masukkan kedalam saku celananya.

"Mencari saya?"

"Ya, tentu Bos. Siapa lagi." Jawab Hinata tanpa menoleh, dirinya masih sibuk memperhatikan meja Naruto yang kosong. Tak lama Hinata tersadar, lalu menoleh ke belakang.

"Walah... Bos'e saya kira ndak masuk ha ha ha." Hinata tertawa canggung saat mendapati Naruto lah yang tadi berbicara.

Berjalan mendekati Hinata. "Kau, terlambat sepuluh menit Nona Hyuga."

"Maaf Bos... Tadi--"

"Apa?! Kali ini apa alasanmu? Kucing tetangga yang mau melahirkan lagi? Membantu Nenek yang tersedak permen? Atau membantu ayam yang berisik setelah bertelur?"

Hinata menundukkan kepalanya, kali ini dia benar-benar terlambat karena siklus bulanannya yang datang keroyokan. Naruto menghela nafas 'untung sayang' batin Naruto.

"Cepat kerjakan tugasmu. Jangan lupa persiapkan presentasi dengan Uchiha corp." Ujar Naruto pelan, tangannya mengusak lembut rambut Hinata, dirinya tak bisa marah pada Hinata. Susah kalau hati sudah bertindak ho ho ho.

Hinata terpaku merasakan usakkan lembut Naruto di kepalanya. Rasa-rasanya tamu bulanannya semakin deras dibawah sana. 'boleh peluk gak ya?' batin Hinata sambil menggigit bibirnya.

Memandang Naruto yang kini sudah duduk dan fokus pada layar laptopnya, ditambah dengan kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya membuat Hinata mengelus dada.

"Nikmat mana lagi yang kau dustakan?" Ujar Hinata pelan.

"Duh Gusti, yen ngeneki terus ojo nyalahno aku yen aku khilaf. Biyuh... Wong kok bagus e poll. Kudu demek, kudu ngambung, kudu ngekep wae." Gumam Hinata pelan pada dirinya sendiri.
(Duh gusti, kalau begini terus jangan salahin aku kalau aku khilaf. Haduh...orang kok gantengnya pol. Harus megang, harus nyium, harus meluk aja.)

Naruto sendiri merasa diperhatikan pun menghentikan kegiatannya. Memandang sang sekertaris dengan wajah angkuh.

"Sud--"

"Tidak Bos, saya keluar sekarang." Hinata memotong ucapan Naruto, dengan tergesa ia keluar dari ruangan Bosnya itu, dia sudah terlalu hafal dengan ancaman Bosnya.

Sesampainya di mejanya Hinata duduk termenung. Dirinya jatuh cinta, kali ini bukan dengan orang biasa. Bukan dirinya tak bisa mengatakan jika dirinya jatuh pada bosnya itu tapi, perbedaan itu membuat Hinata harus mundur teratur. Tapi jaman sekarang bukankah hal biasa? Hinata menggeleng dengan pemikirannya, setan sepertinya mulai merasuki otaknya yang kecil.

Jawa JepangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang