26. Lie

210 27 43
                                    

"I cannot free myself from this lie

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"I cannot free myself from this lie. Give me back my laugh!"
.
.
.

Salju perlahan mulai mengetuk jendela yang sedikit berembun. Lembayung senja kali ini harus mengalah dari awan hitam yang nampak kusut dan suram. Seolah siap menimbun siapa saja menentangnya untuk hadir. Kelam, penuh kesedihan, menyiratkan banyak sendu, dan menyelipkan sejemang rasa aneh yang membercak dalam jiwa.

Langit masih sama, bergumpal-gumpal dan menghitam seperti permen kapas warna kelabu yang tengah menangiskan kepingan meses cokelat putih dan berhamburan di mana-mana. Memberi kesan putih yang mendominan dan membosankan untuk di pandang.

Namun tetap saja euforia perang salju di halaman belakang rumah lebih menyenangkan dari pada menyiram bunga-bunga yang tak memiliki bunga sama sekali di awal musim semi.

Kembali larut dalam kekalutan otaknya yang tengah berlayar mengecap sedikit rasa pedih dan getir dalam hatinya. Soyoung serta merta termenung beberapa saat dalam bathtub kamar mandinya. Suhu airnya mungkin tak sehangat beberapa menit yang lalu. Namun tetap saja rasanya dingin. Sepertinya penghangat ruangan tidak menembus ruangan kamar mandi.

Sejenak ia mengintip salju yang mendobrak kaca jendela kecil di bagian atas hampir menyentuh langit-langit. Nampak awan kelam yang membuatnya kembali termenung dan menyelam dalam sisi kelamnya.

Menghela nafas berat, gadis itu serta merta bangkit dan menyambar handuk. Segera berpakaian hangat sebelum Yoongi masuk dan memarahinya karena kulit telapak tangannya; nampak berkerut karena terlalu lama berendam. Duduk tenang di bibir tempat tidur gadis itu mulai mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.

Namun pikirannya kembali melalang buana. Menelaah semua memori yang terukir dalam bagai palung laut yang kelam dan gelap tak mendasar. Soyoung tak mampu menghiraukan jika hari ini rasanya sungguh lebih berat dari hari-hari terberatnya sekalipun. Rasanya tubuhnya mulai lelah dan juga hatinya seperti telah remuk dan bercecer sehingga tak ada satu serpihan pun yang utuh tersisa untuknya sendiri bahkan.

Bagimana pun sekeras usahanya untuk berpikir optimis, namun nyatanya sia-sia saja. Bagaimana ia dapat meyakinkan diri sendiri saat orang lain yang meyakinkannya sebenarnya juga tak yakin?

Ia ingin segera keluar dari labirin ini dengan benar-benar tuntas. Sesegera mungkin ingin menyentuh kenop pintu itu untuk keluar dari segala kenyataan pahit yang harus ia nikmati setiap harinya bagaikan sarapan pagi; roti panggang dengan madu. Ah, setidaknya madu itu manis bukan. Tak seperti manisnya kenyataan yang harus ia jalani dengan penuh peluh dan air mata yang mulai mengering lama-kelamaan.

Tatapannya masih kosong menatap pantulan dirinya sendiri dalam cermin yang terletak di sebelah lemari bajunya. Sampai ia tak menyadari jika ada presensi lain yang berdiri di ambang pintu dengan wajah datarnya yang sedikit kelabu. Lantas presensi itu berjalan mendekat setelah cukup jengah dengan sang gadis yang melamun tak tersentak sekalipun saat ia membuka pintu kamarnya.

LAST WINTER ROMANCE [Hiatus]Where stories live. Discover now