Prolog

3.9K 228 67
                                    

"Jantung Adek nggak berdetak."

Kecemasan, kesedihan, ketakutan lagi-lagi menyelimuti seorang laki-laki berumur empat belas tahun ini. Perasaan campur aduk dirasakannya saat lagi-lagi kakinya menyentuh lantai sebuah gedung dengan tulisan 'Instalansi Gawat Darurat' di depannya.

Satu bulir air mata menetes bersamaan dengan tubuhnya yang meluruh menghantam kerasnya lantai. Tangannya memeluk kedua kakinya yang tertekuk di depan dada. Bukan hal yang mudah baginya saat mendapati sang adik tak lagi bergerak tepat di hadapannya.

Tangannya masih memegang selembar kertas yang kini sudah lusuh. Ia masih ingat betul saat anak berusia lima tahun itu menyodorkan kertas kepadanya sambil menunduk sebelum akhirnya tubuh kecil kurus itu ambruk di depannya.

Di sela tangisnya, ia membuka perlahan kertas yang lusuh juga sedikit basah karena keringat di telapak tangannya itu. Tulisan ala anak belajar menulis tertera di sana. Meskipun kesulitan membaca, ia tetap berusaha membaca.
____________________________________

Abang, Mag udah bisa nulis tau. Mag dapet tugas dari Bu Guru suruh nulis surat terus dikasih ke orang tuanya. Aku nulis ke Abang deh, kan enak ngasihnya. Kalau ke Papa Mag gak tau kapan Papa pulang. Kalau ke Mama Mag gak tau Mama di mana.

Mag iri tau Bang sama Recal. Masa dia udah ketemu Tuhan kata Mamanya. Kan Mag pingin juga. Kata Bu Guru itu ya Bang ketemu tuhan itu rasanya nyenengin. Terus katanya kalau udah ketemu Tuhan nanti dapet sayap buat terbang. Seru deh bang pastinya. Mag mau.

Recal juga sakit kaya Mag kan Bang. Aku pengin deh nyusul Recal. Pasti dia udah gak sakit lagi. Abang jangan nangis kayak Mamanya Recal ya kalau aku nyusul Recal. Udah sakit tau bang. Abang enak gak sakit. Aku sakit Bang. Sakit banget kalau malem.

Udah selesai deh suratnya. Dibaca ya abang. Mag sayang Abang.
____________________________________

Pertahanannya runtuh. Ia tak lagi bisa berkata-kata. Untuk ukuran anak lima tahun, tulisan sebanyak itu pasti melelahkan. Dan lagi tulisan itu mampu membuat hatinya bergetar. Empat belas tahun ia hidup, baru kali ini hatinya dibuat perih oleh tulisan anak umur lima tahun.

"Enggak, Adek nggak boleh pergi dulu. Nanti Abang temannya siapa kalau Adek pergi?" Laki-laki itu kembali menangis. Kini lebih keras lagi sampai mengundang perhatian para tenaga medis yang sibuk dengan kegiatan masing masing.

Salah satu dari mereka menghampirinya, yang sedang menendang-nendang di atas lantai sambil meraung dengan tangisan. Laki-laki itu memberontak saat salah satu perawat menenangkannya.

"Adek tadi nggak gerak!" teriak anak itu dengan air mata bercucuran deras.

***

Hello, new stories.

Bagaimana tanggapannya dengan prolog ini?

Masih mau lanjut?

Masukkan dulu ke perpustakan kalian okee?

Salam kehidupan

-Sa

BAOBABWhere stories live. Discover now