22. Lemak dan Lurik

816 82 137
                                    

Anak panah itu kembali dilesatkan tepat di samping anak panah yang belum tercabut. Lukanya tidak akan mengering jika seperti ini.

~Aloe Vera~

Happy reading

"Berapa kali Ayah sudah bilang untuk jauhi, anak itu, ha?!"

Belum sampai lima langkah Vera memasuki rumahnya, suara teriakan ayahnya terdengar. Vera tidak menyangka Raga sedang ada di rumah sekarang. Matanya mengedar ke ruang tamu ini. Ruangan ini nampak berantakan. Bantal sofa yang sudah tercecer, sofa yang tidak beraturan lagi tempatnya, dan tampak beberapa tetes air membasahi lantai.

Vera mendekati ayahnya yang sedang murka. Belum sempat mulutnya terbuka, satu tamparan keras ia dapati tepat di pipinya. Rasa panas mulai menjalari pipinya.

Perlahan kepala Vera mendongak. "Ayah melarangku karena sebab sepele. Aku tidak mungkin percaya itu semua karena nilai, Pa!" ungkap Vera.

"Siapa yang menyuruhmu menjawab?!" teriak Raga tepat di depan wajah Vera.

Air mata Vera perlahan turun mendengar setiap amarah dari Raga. Setiap kata yang diucapkan berhasil menghunuskan pedang tepat di hatinya. Menimbulkan kesakitan tanpa rupa.

"Kamu tidak tahu bagaimana latar keluarganya, Vera. Bagaimana jika kamu disakiti nanti?" tekan Raga dengan suara menahan amarah yang siap meledak kapan saja.

Vera menggeleng. "Bahkan sekarang aku sudah Ayah sakiti. Di sini saja aku sudah tersakiti, Yah!"

Raga terhenyak di tempatnya. Ia memperhatikan wajah putrinya yang dipenuhi air mata lekat, sebelum menarik tubuh itu sampai membentur dinding terdekat. "Itu karena kesalahanmu, Vera. Ayah tidak akan memyakitimu jika kamu menjadi anak penurut."

"Asshh," ringis Vera kesakitan.

"Kamu sama halnya dengan anak tidak berguna, Vera," ujar Raga datar.

Tubuh Vera merosot pada akhirnya. Anak panah baru saja Raga lepaskan tepat di samping pedang yang masih tertancap. Perih rasanya ketika kata itu dengan mudah meluncur.

Vera memeluk lipatan kakinya dengan wajah yang ia benamkan di antara lutut dan dada. Fisiknya memang sedikit yang terluka, tetapi luka di hatinya telah merengut kekuatannya.

Raga perlahan menjauhi putrinya yang terisak di sana. Ia hanya ingin melindungi putrinya dari orang yang salah. Perkataan menyakitkan memang perlu ia luncurkan agar putrinya sadar apa kemauannya.

"Berdiri, jangan cengeng!" perintah Raga lirih.

Vera tidak kunjung melaksanakan perintah Raga meskipun ia mendengarnya. Ia hanya ingin menghabiskan air matanya, sehingga tidak terdengar lagi sesegukan darinya.

"Bunda kamu baru saja Ayah marahi," ungkap Raga tidak tahan lagi melihat kekacauan yang telah ia perbuat.

Gadis yang masih sesegukan itu mendongak perlahan. Memastikan yang berbicara tadi ayahnya. Rasa penasarannya tentang ruangan yang berantakan sudah terjawab.

"Ayah dan Bundamu bertengkar lagi itu karenamu, Vera!" teriak Raga dengan kilatan emosi yang kembali muncul. Dengan cepat ia melayangkan tinju pada tembok di atas Vera.

Napas Vera naik-turun tidak beraturan saat mendengar bogeman tepat di atas kepalanya. Ia semakin mengeratkan pelukannya di lutut, takut jika nantinya Raga akan meninjunya juga.

"Jangan buat Bundamu terluka karena kesalahanmu!" lirih Raga sebelum berlalu meninggalkan Vera yang masih meringkuk seorang diri.

***

BAOBABWhere stories live. Discover now