Extra Part

1.8K 82 11
                                    

Semua orang pasti berubah. Tinggal bagaimana caranya agar kita dapat bersyukur. Ya, bersyukur atas keadaan yang telah kita lewati.

_____________________________________

Ponsel dalam genggamannya hampir saja terlepas ketika seseorang tiba-tiba mengagetkan. Sontak Raina menoleh, ia mendengus sebal saat mengetahui siapa yang menjadi pelakunya.

Raina berkata, "Hobimu emang suka ngaret ya kalo ketemuan."

Yang diajak bicara hanya cengengesan. Ia meletakkan kunci motor di meja, kemudian duduk.

"Iya maaf, sayang. Ngertiin dong, kan aku dari jauh. Tadi baru sampe rumah langsung ke sini buat ketemu kamu tau."

Lihat, dia pasti selalu menggunakan alibi ini agar terlihat menyedihkan. Tetapi tidak dapat dipungkiri, memang benar begitu faktanya.

Jika dipikir-pikir lagi, banyak hal telah berubah di kehidupan Raina. Tahun lalu, ia dan teman-teman lainnya sudah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas. Sekarang mereka sudah terpisah.

Raina masih tetap berada di kotanya, melanjutkan pendidikannya di kota asal. Raina melakukannya karena tidak mau meninggalkan ibunya sendirian. Sedangkan Shelma, sahabatnya, ia melanjutkan pendidikannya di kota yang berbeda. Sahabatnya memilih untuk merantau, katanya sih ingin belajar mandiri.

Dan sekarang, di sinilah Raina berada. Sebuah tempat yang biasa ia singgahi saat bersama Kafka. Ah iya, Raina belum menceritakan bagaimana dengan Kafka setelah lulus. Tetapi sepertinya tidak perlu, nanti kalian tahu sendiri.

"Rambut kamu udah panjang, kok gak potong rambut?" tanya Raina setelah memerhatikan penampilan kekasihnya yang sedikit berbeda.

"Ih gak usah, gini aja biar kaya oppa oppa. Ganteng kan?"

Nah, tengilnya kumat.

Raina menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dih, jelek tau."

"Biarpun jelek gini, kamu sayang, kan?" Kata-katanya memang selalu membuat Raina tersenyum.

Setelah itu, mereka tertawa bersama. Mereka telah melewati banyak hal, baik menyakitkan dan menyenangkan, semua jadi satu.

"Kafka," panggil Raina.

Yang dipanggil menoleh. "Iya, sayang?"

"Gimana kuliahnya di Jogja? Menyenangkan?"

Kafka tersenyum, kemudian menjawab, "Oh jelas dong. Di sana banyak cecan tau, lumayan buat penyegaran mata."

Raina menunjukkan ekspresi sebalnya kepada Kafka. Baru saja bertemu sudah mengajaknya berperang. Bukannya semakin dewasa, sifat tengilnya justru tidak pernah hilang. Tetapi Raina bersyukur karena mau bagaimana pun Kafka tetap mencintainya.

"Sekali lagi ngomong gitu, ini saus bakal aku semprot ke muka kamu," ancam Raina.

Bukannya terancam, Kafka malah tertawa terbahak-bahak. Baginya, Raina ini lucu sekali, memiliki Raina memang sangat menyenangkan. Kafka bertekad untuk tidak melepasnya. Susah-susah mendapatkannya, mana mungkin Kafka melepas Raina begitu saja?

Kafka memegang tangan Raina, kemudian meneliti wajah yang dirasanya semakin tirus. "Kok kamu kurusan sih, kenapa hmm? Pasti mikirin aku terus ya?"

"Gak gitu ya," Raina cemberut. "Selama kuliah tuh aku paling males makan, mama aja sampe sering marahin aku."

"Makannya dijaga dong, sayang. Baru ditinggal satu semester aja kamu berubah gini. Jaga kesehatan ya?"

Raina mengangguk patuh.

Raina [Completed]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant