Peringatan

8 5 0
                                    


Jangan lupa vote sebelum membaca.

# Happy Reading #

"Mama ingatkan, kamu dan gadis itu harus bicarakan masalah ini. Karena bagaimanapun juga, ini tentang masa depan kalian. Hal yang sangat serius. Jadi, jangan anggap enteng!" Irma menceramahi pria yang sudah dilahirkannya seperempat abad silam itu.

"Iya, Ma," ucap Omar singkat sambil mengangguk.

"Kamu dan Fraya harus ambil keputusan yang tegas. Lalu, apa kamu sendiri enggak kepengin berumah tangga dalam waktu dekat?" Beliau yang masih tampak cantik meski usianya tidak muda lagi itu melontarkan tanya, ingin tahu bagaimana pendapat sang putra.

"Ya pengin, dong tetapi kalau yang diajak nikah enggak mau, harus gimana?" Omar berkata dengan nada tanpa harapan.

"Harus dirayulah biar mau menikah," saran Irma santai.

Omar memikirkan apa yang telah dikatakan oleh ibu kandungnya. Kemudian dia mengutarakan apa yang ada di benaknya.

"Berarti nanti sore Omar ketemu Fraya sekalian melamar dia, Ma," ungkap lelaki muda yang memakai atasan kaos oblong berwarna biru dan celana pendek abu-abu.

"Astaga! Jadi, itu semua karena kesalahan kamu?" Irma terkejut dengan ucapan putranya baru saja.

"Maksud mama apa?" balas Omar dengan tanya.

"Bisa jadi, Fraya itu menunggu kamu untuk mengajak serius. Kalau dari pihak pria diam-diam saja, Fraya bisa lari lho karena enggak ada kepastian dengan kamu selama bertahun-tahun." Irma mengungkapkan pendapat dari sisi perempuan.

"Menurut Mama begitu?" Omar berpikir lagi. Jangan sampai Fraya lari seperti perkataan mamanya.

Irma mengangguk tanpa bermaksud menakut-nakuti. "Apa yang membuat kamu mengulur waktu sampai empat tahun?"

"Setiap mau melamar, Omar belum yakin Fraya mau menerima lamaranku." Omar beralasan sambil mengingat sudah tiga kali dia berkeinginan untuk melamar Fraya namun selalu diurungkannya.

“Tadi kamu bilang mau melamar sore ini, apa sudah menyiapkan cincinnya?" tanya Irma.

Melihat Omar yang hanya tersenyum, beliau mengerti kalau anak sulungnya belum memiliki persiapan apa pun. Dia pun hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Nih, lihat katalog perhiasan dari toko mama. Abang bisa pilih mana yang cocok, nanti pegawai toko bisa kirim ke sini. Masalah ukuran jarinya, biar mama yang tentukan,” sambung sang mama sambil menyodorkan katalog perhiasan yang dijual di tokonya.

Katalog tadi tersimpan rapi di antara tumpukan laporan karyawannya. Sudah tiga tahun ini, istri dari Bapak Lukman Iskandar itu merintis usaha jewelery.

“Terima kasih. Mama memang yang terbaik.” Omar memuji ibunya sambil mendaratkan kecupan di pipi wanita yang duduk tak jauh darinya itu. Dengan perasaan bahagia, Omar menerima katalog yang diberi oleh mamanya.

"Ingat! kalau keputusannya ingin menikah ya lamar, tetapi jika jalan di tempat ya lebih baik bubar," imbuh Irma menasehati.

"Sarannya kejam amat, Ma. Kita masih muda, masih dua puluh lima tahun," dalih Omar seraya membuka lembar demi lembar katalog yang diberikan mamanya.

"Umur segitu bukan usia muda, tetapi usia matang dan cocok untuk berkeluarga. Papa dahulu menikah sama mama usianya dua puluh tiga tahun. Sudah jangan buang waktu lagi," balas sang ibunda sambil berdiri

"Mau ke mana, Ma?" tanya Omar.

"Mama mau belanja ke supermarket. Ada yang lupa mama beli untuk suguhan arisan mama nanti sore."

"Hati-hati ya, Ma. Maaf Omar enggak bisa antar," tutur Sang Putra dengan nada sedih.

"Iya, sayang. Lekas putuskan cincin yang cocok untuk calon mantu mama dan jangan lupa kabari mama. Biar nanti sore siap kamu bawa." perintah Irma.

"Siap, Bos!" seru Omar sambil melakukan tanda hormat dengan tangan kanannya.

"Oh, iya. Kalau kamu gagal menikah tahun ini dengan pilihanmu. Mama sudah siapkan jodoh yang tepat. Kamu harus mau menerimanya," tegas Irma seraya menepuk pundak putranya dan berlalu dari hadapan Omar.

"Ma, ini bukan jaman Siti Nurbaya. Omar enggak mau dijodohkan. Nanti akan kubuktikan kalau Fraya memang pilihan yang tepat," teriak Omar agar Irma mendengar segala ucapannya.

❤ To Be Continued ❤

Menemukan CintaWhere stories live. Discover now