Part 4 "Kim Gabriel"

166 76 5
                                    

Hasil akhir tak sesuai harapan?
Tak ada pengorbanan atau ada paksaan?
Tanyakan pada diri kalian!

Tempat ini tak pernah sepi. Seolah-olah manusia tak bisa hidup tanpa tempat ini. Lalu lalang manusia silih berganti. Tak peduli pagi, siang, bahkan malam sekalipun. Entah apa yang membuat manusia begitu menyukai tempat ini. Tak ada wajah sedih yang terlihat. Semua orang bahagia, ceria, dan penuh canda tawa.

Hanya aku yang berbeda. Setiap kali mengunjungi tempat ini, pasti terjadi sesuatu buruk kepada ku. Baik pergi maupun datang, tempat ini menjadi jembatan dari masalahku. Aku begitu iri pada semua orang yang bisa tertawa lepas, dan bebas menentukan apa yang mereka inginkan.

0oo0

Pukul 16.00 di Bandara Soekarno Hatta

"Syukurlah tuan sudah sampai, mari saya bantu bawa kopernya."

Dia supir pribadi. Sepertinya dia sangat bahagia aku pulang. Dia salah satu orang terdekat dalam hidupku. Hanya dia yang peduli dan mau mendengarkan apa yang aku inginkan.

Benda berbentuk persegi panjang ini berdering. Teretera nama Ayah yang biasa kusebut Pria Tua. Ada apa dia menelpon? Aaah, dia akan mulai menceramahiku. Aku malas mengangkatnya, tapi jika tak diangkat dia akan terus mengangguku, hampir lupa kalau pria tua itu keras kepala. Aku harus menjadi air agar bisa memadamkan api, jika tidak akan terjadi kebakaran lagi.

"Kau sudah sampai di Jakarta? Langsung pulang, temui Ayah. Ada yang perlu Ayah tanyakan!" Pria tua itu mematikan pembicaraan sepihak, tanpa mau mendengar jawaban.

Dalam kenyataannya aku jarang memanggil dia Ayah, kecuali dihadapan media. Selama ini aku mencoba untuk menerimanya, tapi dia tak pernah menganggapku sebagai anak. Itu sebabnya aku juga mencoba untuk menganggap Ayah dan Ibuku sebagai orang lain. Tidak, bukan orang lain. Tapi majikan, dia selalu memaksaku untuk melakukan apa yang mereka inginkan.

Hidupku penuh dengan aturan. Makanya, tak kaget dengan satu dua peraturan sekolah maupun kampus. Peraturan sekolah tak ada apa-apanya. Jika orang lain kena marah, ejekan, bahkan pukulan dari guru atau musuhnya, aku dapatkan semua itu dari mereka, Pria tua & Mak Lampir.

Aku mungkin terdengar seperti anak durhaka, tapi kalian tak tahu apa yang aku alami selama ini. Jika kalian berada diposisiku, mungkin kalian mengerti. Anak-anak lain mengatakan kalau aku anak yang beruntung, punya keluarga yang harmonis dan kaya. Punya ayah seorang politikus terkenal dan Ibu yang memiliki bisnis yang tak diragukan lagi pendapatannya.Aku mulai bicara sendiri dalam hati selama perjalanan ke rumah.

"Saya dengar tuan mahasiswa terbaik di Fakultas Seni Teater. Jika tuan jadi aktor, saya akan jadi penggemar pertamanya." Lelucon supirku menghentikanku melamun menatap kaca mobil yang dibasahi hujan.

"Aku takkan jadi aktor, kau sudah tau itu. Jangan mencoba menghiburku lagi." Sebenarnya aku bahagia dengan ucapannya, tapi aku tak bisa terus berkhayal. Pria tua itu pasti akan menolak mentah-mentah keinginanku.

Tak terasa mobil yang berjalan lambat seperti gerobak, kini berhenti di depan rumah mewah. Tempat dimana aku tumbuh menjadi pria 22 tahun seperti sekarang. Bagiku, ini lebih terlihat seperti neraka dibanding istana.

"Selamat datang Tuan Gabriel, Tuan Besar sudah menunggu dari tadi diruanganya." Kode pembantu rumah agar aku langsung menemui Pria tua itu.

4 tahun aku tak menginjakkan kaki di rumah ini. Rasanya masih sama, hanya ingatan buruk yang aku miliki. Aku berjalan perlahan menuju ruang kerja si Pria Tua, biasanya aku menyebut ruangan itu sebagai 'Ruang Eksekusi'. Ruangan itu menjadi saksi bisu ketika Pria tua itu menghukumku, bukan menghukum tapi menyiksa.Terkadang ditampar berkali-kali, dipukul dengan tongkat golf, sampai dikurung tanpa diberi makan. Dia selalu menganggap kesalahan ku sebagai sebuah dosa.

"Sudah puas main-main di Korea?" Tanya Pria tua

"Aku hanya melakukan apa yang kau inginkan." Aku mencoba menjawab sesingkat mungkin

Pria tua itu melempariku dengan kertas yang berisi hasil nilaiku di Fakuktas Hukum."Benarkah? Lalu apa ini? Nilai mu tidak ada yang A semuanya B!"

Aku masih diam mendengar pertanyaan sekaligus amarahnya. Toh pada akhirnya dia akan menyalahkanku atas semua yang terjadi.

"Kudengar kau mengambik kelas Seni Teater juga? Buat apa mengikuti kelas itu? Bukankah sudah kubilang, kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan? Kau hanya perlu kuliah di Fakultas Hukum, dan jadi politikus sepertiku!"

"Itu keinginanmu, bukan keinginanku. Aku bahkan tak pernah menginginkannya. Cukup, jangan mencoba mencampuri kehidupanku lagi!" Aku mencoba bicara dengan intonasi lebih tinggi

"Kau sudah berani rupanya, Ayah bingung hukuman apa yang harus kuberikan kepada Berandal tak tahu diri sepertimu."

"Astaga, sampai sekarang kalimat ancamanmu bahkan tak berubah, aku sampai bosan mendengarnya. Bukankah kau punya putra lain? Ooo iya, aku lupa dia hanya pembantu kebanggaanmu. Kau bahkan lebih mendengarkan dia daripada putramu." Dulu aku diam ketika Pria tua memarahiku, tapi sekarang tidak. Aku sudah dewasa.

PLAAAKK. Dia menamparku keras, ini tamparan pertama setelah aku pulang. Rupanya dia tersinggung dengan ucapanku. Padahal aku hanya bicara kenyataan.

"Aku lebih percaya kepada pembantu itu karena putra keluarga ini tak bisa melakukan tugas dengan benar! Jika terus membangkang, kau akan bernasib sama seperti temanmu."

Teman? Aku hanya punya satu teman di Indonesia, Defandra. Ada apa dengan dia? Sial, gara-gara menuruti permintaan Pria tua itu, aku tak sempat mengabarinya aku sudah di Jakarta. Nanti sajalah, tubuh ku terasa memikul kotoran 1 ton, aku harus bersihin badan.

30 menit kemudian di meja makan.

Aku mulai lapar, cacing dalam perut ini mulai demo, menyuruhku agar segera makan. Apalagi yang aku tunggu, aku langsung melahap makanan di depanku. Suara sepatu terdengar begitu jelas, tak salah lagi Mak Lampir itu datang. Kuberi tahu kau sedikit, dia hampir sama seperti Pria Tua itu. Perbedaannya dia tak main fisik, hanya mulut yang bertindak. Tapi sama saja, kedua hal itu menyiksaku selama ini.

"Putraku paling tampan sudah pulang rupanya. Apa semuanya lancar?" Tanya Mak Lampir sok peduli

"Anda tidak perlu bertanya jika sudah tau jawabannya."

"Ibu bilang apa, jika kamu menuruti Ibu, pasti akan lebih menyenangkan. Profesi CEO lebih cocok denganmu. Maaf ya Ibu tak bisa lama-lama, 30 menit lagi ada meeting dengan klien."

Hhhhhh, seperti itu lagi. Aku tak pernah menghabiskan waktuku lebih dari 5 jam sehari dengan keluarga, lima jam pun jarang. Tak salah jika seorang anak banyak melakukan kesalahan kalau orang tuanya saja tak pernah mau mendengarkan apa keinginannya.

Aku harus bertanya pada siapa tentang Defandra? Pembantu? Tidak, mana mungkin mereka tau. Supir, okelah aku coba barangkali dia tau.

"Mang selama aku di Korea apa ada masalah dengan Defandra?"
Bukannya menjawab malah bengong. Apa dia tak dengar pertanyaanku?

"MANG SELAMA AKU DI KOREA, APA ADA MADALAH DENGAN DEFANDRA?"

Kuulangi pertanyaanku dengan suara lebih keras dan jelas. Dia kaget sekarang, rasain. Suruh siapa bengong.

"Anu tuan...Teman tuan itu sekarang.....sekarang sudah maksud saya baru meninggal." Jawab supir itu dengan pelafalan terputus-putus.

"Apa kau hobi buat lelucon sekarang? Aku sedang tak ingin bergurau, beri tau jawabannya yang benar." Aku tinggal ke Korea sebentar, supir ini punya hobi baru rupanya.

"Saya serius Tuan." Jawabnya.

Terdengar jujur dan tulus. Jika dia benar, apa yang terjadi selama ini? Defandra tak punya penyakit apapun. Apa dia bunuh diri?

"Dia dibunuh Tuan, dibunuh oleh pembantunya sendiri". Kata supirku

Tidak. Tak mungkin pembantunya yang membunuh. Yang aku tau selama ini justru dia yang peduli dan sayang sama Defan. Astaga, aku bahkan tau soal ini. Dia satu-satunya temanku. Kita punya nasib tak jauh berbeda, tapi dia lebih beruntung sedikit karena Ibunya masih peduli. Apa ini maksud Pria Tua itu?

Maaf kalau banyak typo...
HAPPY READING😊😊 Semoga suka ceritanya

Jangan lupa vote& coment ya👇👇
Thank you

Tuan Rubah BerdasiWhere stories live. Discover now