Lembar Keempat Puluh Lima : Yang Lebih Rendah dari Sampah

601 90 28
                                    

"Ketidakpedulian, bila sudah bersekutu dengan kekuasaan, akan menjadi musuh terkejam dari keadilan."

-James Baldwin-

     "Onegai. Tolong." Dia sekali lagi berucap dalam bahasanya, entah itu bahasa ibunya atau justru bahasa tempatnya tinggal dahulu. Masa lalunya jelas buram sekali, lebih buram dari memori masa kecilku, sampai-sampai aku tidak mengerti mengapa ia mengajariku sedikit bahasa Jepang dan Prancis yang masih kuingat sampai sekarang.

      Semilir angin mengembus tengkuk yang sedang dipeluknya hangat. Tidak terasa lagi dingin menusuk tulang sebab saraf-sarafku sudah buta akan suhu, lebih menghiraukan pekat aroma lycoris yang menempeli kemejanya. Sejuk, tidak terlalu menusuk layaknya wangi bunga biasanya, namun cukup untuk membangkitkan masa lalu.

    "Wakaranai. Aku tidak tahu," Hanya itu jawaban yang dapat kuberi. Cengkramanku melemah, dekapan erat kami perlahan-lahan terlepas.

    Rintik kecil di matanya buru-buru ia seka. Siraman purnama menyiram wajah kuyunya, termasuk kantung tebal di bawah matanya. Aku tersenyum kecil—senyuman pertamaku untuknya.

    "Aku belum siap, Komisaris. Tapi, untuk memperlihatkan ini, sepertinya aku sudah siap," ujarku seraya mengibaskan rambut, lantas poni-poni di mata kiri tersingkap. Guratan luka itu terang benderang diterpa purnama.

    Lagi-lagi aku tersenyum. Wajahnya mendadak sendu. Aku tahu, baginya, memperlihatkan luka itu sama dengan mengungkit ketidaksabarannya dahulu. Tidak bagiku yang menganggapnya awal baru, membiarkan masa lalu terbuka untuk dilihat siapa saja, termasuk diriku saat bercermin nanti.

    "Aku akan mulai belajar menerimanya. Ya, hanya sebatas menerimanya, tidak tahu akan sampai tahap mengakui atau tidak. Lagipula..." Kedua lengannya lagi-lagi mendekapku, bibirnya tidak berhenti mengucapkan terima kasih. Dan untuk pertama kalinya, di atas yacht tempat kami dahulu tertawa riang bersama, kami berdua serempak tertawa.

    "Tunggu. Kau harus sarapan dahulu..." Dia melepaskan dekapan, lalu terburu-buru menaiki tangga yacht sementara aku dipaksanya duduk menunggu.

    Langkah kakinya terdengar sangat bersemangat. Aku yang tidak dapat menolaknya, memutuskan duduk patuh menatap langit malam. Kupandangi bentangan cakrawala, gemerlap bintang, kemudian mengendur turun pada atap yacht yang digantungi origami-origami perahu. Tersenyum lagi. Sepertinya, masih ada kertas dalam tas.

    "Cia, Ayah baru memanggang roti! Kau mau?" Langkahnya terhenti. Kutebak, dirinya tertegun memandangi kelincahan jemariku melipat kertas, menjadikannya origami yang akan dibentuk perahu.

    "Mau! Oh ya, kau bisa menggantung ini nanti?" seruku mendongakkan kepala. Dengan dua piring membenani tangannya, ia mampu mengangguk keras.

    Kami tidak banyak berbicara, khusyuk mengunyah roti panggang. Masih panas, namun cukup lezat dengan selai stroberi yang langsung lumer di mulut. Ia mengingat jelas seleraku, pecinta stroberi tingkat akut. Jemarinya tiba-tiba mengangkat 'origami' perahu, memandanginya di tengah taburan bintang.

   "Lebih bagus dari yang kau buat delapan tahun lalu." Dia memulai pembicaraan. Giginya yang setengah mengunyah terlihat diselimuti selai merah muda.

    "Bagusan dulu," dengusku sebal. "Warnanya biru, tidak putih seperti sekarang. Aku benci putih," Ia tertegun, membaca jelas makna kataku.

    "Ayah juga membenci putih."

    Lengang sejenak. Origami di tangannya diturunkan, ganti tanganku yang dierami telapak tangannya. Hangat.

   "Alluschia..." panggilnya lembut, membuatku menoleh sejenak pada tatapan nanarnya yang sedang hanyut entah kemana. Sejenak, dapat kurasakan harapan besar sedang memupuk pelupuk matanya.

UnfortunateWhere stories live. Discover now