Lembaran Kelima Puluh Delapan : Badut-Badut Sirkus (II)

463 75 27
                                    

      Biru-merah sirine ambulans berulang kali menyorot langit pagi, menjadi satu-satunya pemandangan menarik yang terbingkai jendela. Tangan dan mataku bagai lem yang merekati kaca sejak setengah jam lalu. Keramaian di lantai bawah memang mengundang rasa penasaran siapa saja, meski puncaknya sudah dilalui kemarin hari. Beberapa peralatan medis, terutama yang menangani pasien berpenyakit jantung semacam mesin azurion, dilaporkan gagal fungsi. Setidaknya lima proses kateterisasi jantung yang dijadwalkan hari ini dan esok dinyatakan batal. Sebagai gantinya, para pasien akan dipindahkan ke Rumah Sakit Severich. Untuk itulah lima ambulans bergantian mengisi pelataran rumah sakit dengan gaung sirinenya.

      Kerusakan ini tentu bukan tanpa alasan. Setelah dua hari menunggu dan terus bersandiwara, skenario Ayah akan menyentuh klimaks esok hari, persis saat Jung pulang. Untuk itu, semua pasien yang 'rawan' harus dipindahkan. Ayolah, siapa yang ingin pasien dengan riwayat jantung menemui ajalnya karena mendengar letusan peluru? Kami bekerja sama dengan Intelijen, jadi sudah pasti mereka mengutamakan keamanan sipil.

      "Publik pasti heboh sekali. Tuh, lihat televisi, mereka ramai-ramai membicarakan konferensi persmu besok. Lagian, kenapa harus mengumumkannya lewat teleconference? Semua orang jadi menuduhmu pengecut! Sial! Padahal kalau bukan karena jasa Ayah, mereka pasti sudah terbatuk-batuk menghirup teror dari Silver," geramku mengacung-acung televisi yang sedang menyala.

      Ayah terkekeh. Hologram di depan matanya terpecah-pecah, lalu lenyap begitu tangannya menyapu udara. Pekerjaannya sebagai pemilik Allan Group baru saja tuntas. Tidak benar-benar tuntas, hanya hari ini ia memutuskan menyudahinya lebih awal. Mungkin karena besok akan menjadi sangat padat, Ayah ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamaku.

      "Ayah dengar empat hari lagi kamu ujian akhir? Tidak belajar?" tegur Ayah seraya memandangi tablet pemberiannya. Tergeletak begitu saja di atas kasur, layarnya menyeru berkali-kali padaku yang mangkir dari permainan catur.

      "Besokpun juga sudah siap," Aku mendengus sombong. "Aku bahkan bisa menyelesaikan soal kelas tiga SMA. Apalagi tahun lalu aku menyabet medali emas di kompetisi komputer, harusnya sekarang aku pergi ke Inggris mewakili negara ini. Sayangnya, kutolak mengingat White yang semakin ganas."

      Dengan santai, tanpa menyadari perubahan wajah Ayah, aku naik ke atas tempat tidur dan melanjutkan giliranku menggerakkan pion. Seru sekali, lawan tandingku bahkan sudah kalah empat kali berturut-turut dan di putaran kelima, ia masih tidak terima. Jadilah aku meladeninya sambil menyendokkan parfait.

      "Tahun besok kau harus pergi, Cia. Kalau bisa, ambil penghargaan tertingginya. Atau kalau Cia ingin belajar dari sekarang, bilang pada Ayah saja agar Ayah panggilkan dosen dari sini atau Massachusetts sekalian. Jangan khawatirkan apapun lagi, oke?" ujar Ayah yang tiba-tiba saja menggengam tanganku erat. Kedua matanya jelas-jelas sedang menawarkan harapan.

       Dan mataku ikut terperangkap dalam sinar Ayah. Aku tertawa kecil, balas meremas jemari Ayah erat-erat, kemudian mengangguk kencang.

       "Kapan Ayah pergi dari rumah sakit?" Seraya menyendokkan parfait—yang sudah kuhabiskan setengah gelas—aku menoleh padanya.

       "Jam tiga sore nanti. Sekarang Ayah ingin sedikit bersantai. Nanti kalau Ayah tinggal sendirian, jangan pergi ke mana-mana. Tetap di kamar, main tablet atau baca buku saja. Buku-buku yang Ayah belikan kemarin belum kau baca habis semuanya, kan?" ujarnya yang sudah sibuk membaca berita lagi. Apanya yang istirahat? Ia hanya menutup pekerjaannya, lantas berselonjor santai sambil membaca-baca komentar pedas publik akan dirinya.

        Aku menggeleng. Tumpukan buku di kolong tempat tidur sudah seperti bukit kecil. Entah ia selalu menuruti keinginanku atau karena hartanya berlebih, kemarin sore Ayah membelikanku satu tas berisi penuh buku. Macam-macam, dari ensiklopedia sampai novel klasik pun ada. Yang katanya, bisa membuang bosanku—yang berkali-kali mengeluh tidak bisa keluar.

UnfortunateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang