Lembaran Keenam Puluh : Manipulasi Pasar (II)

377 71 8
                                    

     Media massa tidak henti-hentinya menggemparkan warga Severich. Sorot kamera dengan cepat melepaskan Komisaris Polisi dari puncak berita. Berkat panggilan Ren setengah jam lalu, borok-borok Evanescence Group tercecar. Mulai dari kasus pembunuhan aktivis, suap-menyuap, sampai pemalsuan tender proyek Jembatan Emas pun mulai menghiasi linimasa.

      "Ini gila," decak Sara. "Sekarang Silver pasti sedang panik. Satu demi satu investor mereka akan pergi,"

      "Betul. Ren, lihat! Sudah ada panggilan saja! Investor besar! Pemanasan yang bagus," Arry melonjak gembira, menunjukkan layar ponselnya akan kontak seseorang dengan nama asing. Ren tersenyum kecil, membiarkan istrinya menerima telepon di luar ruang keluarga.

     "Aku harus kembali ke ruang kerja, Sar. Karena kita baru bisa pulang lima hari lagi, kau tidak keberatan tidur di kamar Alluschia, kan?" ujar Ren seraya bangkit. Kedua matanya masih menampakkan kelelahan, menghitam dan juga berat.

     "Tidak masalah. Paman, apa kau tidak sebaiknya istirahat dulu?" Sara mengangguk. Bahkan seseorang yang bukan keluarga sepertinya mencemaskan kesehatan Ren.

     "Tidak ada waktu untuk beristirahat, aku harus terus berlari selagi bisa," Langkahnya terlebih dahulu pergi, meninggalkan Sara seorang diri di tengah besarnya ruang keluarga.

     Hening, hanya derap kakinya yang memantul ke dinding-dinding putih yang mengelilingi Ren sepanjang menapaki lorong. Untuk menuju meja kerjanya, ia hanya perlu melintasi lorong yang dahulu diisi tawa riang Alluschia. Delapan tahun terakhir lorong tersebut senyap, catnya bahkan terkelupas seiring waktu. Ren menghembuskan napas. Untuk keseribu kalinya, dadanya sesak tiap kali melihat setiap ruangan milik Alluschia yang kini terkunci rapat.

     Buk! Ren tersentak. Bedebam kecil itu dengan cepat menggema ke penjuru lorong, menembus gendang telinga hingga saraf, memberitahukannya akan sumber suara yang jelas tidak berasal dari ruang kerjanya. Derik pintu tiba-tiba terdengar. Ren menolehkan kepala, mendapatkan pintu kamar pribadi Alluschia tidak lagi terkunci rapat. Apa itu Miru?

     "Miru?" panggil Ren dengan jemari perlahan-lahan mendorong pintu. Derik pintu terdengar lebih keras. Suara-suara benda jatuh lebih nyaring menyahut. Seseorang di dalam baru saja dikejutkan kedatangan Ren.

     "A...Ayah?" Miru gagap bertingkah. Dua sampai tiga boneka kelinci Alluschia terjatuh di sekitarnya. Anak kecil itu kemudian menggaruk-garuk kepala, gelagapan melihat ayahnya yang hanya berekspresi datar. Tidak marah maupun riang menyapanya.

     "Kau sedang apa? Kak Sara akan menggunakan kamar ini nanti, jadi sebaiknya kau tidak bermain di sini. Bukankah Ayah sudah membeli banyak mainan untukmu? Ayah juga sudah melarangmu bermain di kamar ini, ada banyak ruangan yang—" Miru tiba-tiba saja berlari, menghamburkan pelukan ke lutut ayahnya yang sedang merepet banyak hal. Anak kecil itu tahu ia tidak pernah dibentak, namun ia tahu, kini ayahnya sedang marah.

     "Maaf..." Tangan anak kecil itu mencengkram kuat celana Ren, memeluknya dengan segenap rasa takut.

     Ren yang luruh tersenyum kecil, lalu memeluk putranya lebih erat. Sekejap ketakutan Miru menjalar ke bahunya, memperingatkannya akan insting seorang anak kecil.

     "Maafkan Miru, Yah. Miru, Miru hanya kesal dengan Kakak..." Anak kecil itu sesenggukan bercerita. "Jadi Miru membanting dua boneka Kakak, Miru kesal, kesal karena..." Hidung anak itu mulai mampat. "Karena sejak Kakak datang ke rumah sakit waktu itu, Ayah berubah. Ayah jadi lebih jarang bermain denganku, lebih suka ke kamar Kakak, padahal Kakak saja tidak jelas kapan kembali. Lalu Ayah juga lebih sering berada di ruang kerja sehingga Ayah sering lupa mendongengkan aku. Lalu, lalu, lalu—''

UnfortunateOnde histórias criam vida. Descubra agora