xxxii. nothing lasts forever

32.9K 6.1K 1.8K
                                    


"Aleide? Juru masak itu? Dia sudah pergi."

Sorot pandang Lana terarah menuju seorang gadis terbalut blus biru muda berpadu dengan rok midi abu-abu yang sedikit menyentuh betis. Ujung celemek putih polos di tubuh gadis tersebut tampak bergoyang-goyang seiring langkahnya yang bergerak ke sana dan kemari. Pelayan muda itu terlihat cukup sibuk seorang diri bersama piring-piring kecil di tangannya walau kurang dari tiga belas menit lagi, waktu akan berdentang di angka tujuh malam.

"Bukankah kau tidak bertugas di bagian dapur sebelumnya, Elijah?" Lana beranjak berdiri setelah mendapati teman bicaranya berhenti bergumam. Dua kaki perempuan berambut cokelat itu terus berjalan hingga berhenti tepat di samping meja kayu besar yang mengalasi dua talenan kayu, berbagai pisau dapur, papan berisi telur, juga keranjang jerami yang terpenuhi kentang kukus.

Lana mengulas senyum memperhatikan Elijah, gadis berusia enam belas tahun beriris hazel. Pribadi Elijah yang mudah dekat dengan siapa saja membuat ia tak segan-segan menjadi teman seperbincangan Lana selain Marla sampai sekarang.

Elijah melirik Lana sekilas sebelum mengangkat panci tembikar dan meletakannya pada tatakan lebar. "Nein sudah berhenti bekerja semenjak beberapa hari lalu. Mungkin karena itu saya ditugaskan di bagian ini, Nona."

Tidak memiliki pilihan lain, Lana hanya mengangguk. Pandangannya mulai beralih memperhatikan seisi dapur yang dapat dikatakan lebih minimalis ketimbang bagian lain dari mansion. Keramik mozaik putih bersih nyaris melekat memenuhi dinding, membuang kesan muram tatkala sinar rembulan masuk melalui dua jendela besar kokoh yang hampir mendekati langit-langit. Empat lentera menggantung menyinari dapur, mempertunjukan perabotan-perabotan berbahan dasar kayu dan bermacam guci usang yang membuat Lana menyimpulkan jika sang pemilik mansion memang cenderung menggemari barang-barang kuno nan antik.

Meski seisi dapur tidak terlihat sejelas ketika siang menyapa, atensi Lana masih dapat tertarik oleh rak lemari kayu pinus tua yang menyimpan berbagai piring-piring hias antik dengan goresan tinta biru yang membentuk sebuah lukisan. Cawan mungil berwarna putih yang tersusun rapi di antara piring kuno ikut menambah impresi lawas berbingkai lemari panjang.

"Sangat susah untuk menemukan cawan seperti itu di Eropa," gumam Lana pelan yang justru mengambil perhatian Elijah sesaat.

"Benar Nona. Tuan Jeffrien membawa cawan-cawan itu dari Vietnam lima tahun silam," balas Elijah sembari mengambil dua cangkir porselen.

Merasa heran, Lana tanpa sadar memiringkan kepalanya. "Vietnam?" tanya perempuan itu sambil menyentuh ujung poci tembikar di atas meja besar pembatas antara bagian dapur dalam dan luar.

"Tuan pernah berkunjung beberapa kali ke sana, entah untuk apa." Elijah meraih ketel teh keramik dari atas tatakan pelan-pelan. Mendengar itu, Lana bergeming penuh tanya.

Teh hibiscus bergerak turun menyentuh dasar cangkir porselen ketika Elijah menuangkan isi dari ketel teh di tangannya. Kesunyian seketika terbungkus oleh suara air yang bergulir tumpah. Uap teh kemerah-merahan mengepul kemudian berlalu terbawa embusan angin yang berlalu-lalang melalui jendela. Harum manis bunga hibiscus ikut tercium walau samar. Kelopak kecil bunga merah yang mengapung di atas permukaan teh mengukung ketertarikan Lana untuk terus menatapi dua cangkir teh hibiscus hangat racikan Elijah.

Genangan teh dalam dua cangkir berbeda beriak pelan seiring sepasang mata Lana yang berkedip sekali. Elijah mulai berjalan menuju lemari piring antik dan membuka salah satu laci persegi panjang. Kepala perempuan itu menunduk seperti tengah mencari sesuatu.

ICARUS HAS FALLEN ✓Where stories live. Discover now