Episode 9

4.3K 390 17
                                    

Selamat Membaca!
--------------------------

Pukul 12 malam, Zara terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia menuju dapur, mengambil segelas air guna membasahi kerongkongannya. Suatu keajaiban dirinya dapat tertidur nyenyak setelah salat isya, mungkin saja karena pikiran serta badannya sudah terlalu lelah.

Gelas yang ia pegang telah kosong tak bersisa. Kemudian, ia merasakan bahunya ditepuk pelan. Ia tahu itu tangan Anindira, mana mungkin tangan orang lain kan? Kecuali Anindira tidak menginap dan ada yang menepuknya berarti itu makhluk dari dunia lain.

Dengan mata sayup-sayup sebab masih mengantuk, Anindira berusaha menyentuh saklar lampu di sebelah lemari dapur.

"Enggak bisa tidur?" tanya Anindira dengan suara seraknya.

"Bisa, ini lagi kebangun aja. Kamu sendiri ngapain ikut bangun?"

"Kebangun karena denger suara galon hehe," ujar Anindira seraya meletakan tangan di depan mulutnya yang menguap.

"Ya udah gih, tidur lagi sana. Masih ngantuk gitu."

Anindira menggelengkan kepala tidak setuju. "Aku mau nemenin kamu."

"Cuci muka dulu kalau gitu, aku mau cerita habis ini."

Sontak saja, mata Anindira terbelalak dan langsung bergegas ke kamar mandi. Inilah yang ia tunggu-tunggu sejak kemarin.

Melihat tingkah laku Anindira, Zara hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan dan tersenyum kecil. Ia sedikit terhibur hingga membuatnya sedikit rileks untuk nanti menceritakan semuanya pada Anindira.

***

"Jadi ... gimana?" tanya Anindira sambil menempatkan dirinya di atas sofa dengan nyaman.

"Hm ...." Pandangan Zara tertuju pada atap plafon kamar, ia bingung mulai dari mana akan cerita.

"Pelan-pelan aja, Zar."

Kaki Zara yang semula menggantung di pinggiran sofa, ia tekuk hingga duduk bersila dengan bantal sofa di atas pahanya. "Kemarin ... untuk pertama kalinya setelah tiga tahun ini, Nin. Aku ketemu dia."

"How do you feel right now?"

"I don't know ... I just feel confused," lirih Zara dengan menautkan jemarinya satu sama lain.

"Why?"

"Ya bingung, aku sedih pasti, tapi di satu sisi juga seneng liat dia sehat. Sedih karena dia keliatan baik-baik aja selama ini."

"Katanya seneng?"

"Ya iya sih ... I mean, aku kira dia bakal merasa bersalah, tapi nyatanya? Enggak. Dia malah keliatan santai dan baik-baik aja, sedangkan aku? Tiga tahun ini enggak bisa baik-baik aja. Aku belum bisa deket sama cowok karena masih suka keinget soal dia."

"Makanya kamu lebih pilih berlaku jutek sama dia?" tanya Anindira, setelah melihat interaksi antara Abian dan Zara siang tadi.

Zara mengangguk, menyetujuinya. "Setelah pertemuan pertama kemarin dan aku liat dia baik-baik aja. Aku jadi mikir buat enggak mau keliatan lemah di depan dia, enggak mau kalau dia sampe punya pikiran kalau apa yang dia lakuin dulu bisa berhasil buat aku sedih ...."

"Tapi, Zar. Aku rasa Abian enggak sejahat itu buat bikin kamu sedih bertahun-tahun gini. Siapa tau dia juga merasa bersalah? Kan kita enggak tau."

"Nin ... kamu ngebela dia?"

"Enggak-enggak," sangkal Anindira dengan menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan gitu, Zar. Aku berusaha untuk netral dengan cari tau dari dua sisi. Aku juga enggak mau sahabatku satu ini sedih berlarut-larut," imbuhnya.

Afektasi [SELESAI]Where stories live. Discover now