✨09✨

4.2K 510 98
                                    

Kelamnya kemarin kini mulai terkikis dengan pancaran kebahagiaan yang tiada tara. Semua kesedihan, rasa takut, dan cemas mereka terbayar lunas melihat bagaimana sosok itu bisa terjaga dengan damai. Meski harus melewati jurang kematian yang amat mengerikan, akhirnya ia berhasil kembali di saat-saat terakhir.

Sekali lagi, si pemuda tangguh itu melewati rintangan yang Tuhan berikan. Kematian hampir menggapainya, tetapi takdir tak membiarkan pemuda itu pergi. Takdir membuatnya bertahan di sini, juga membuat ia kembali berjuang di dunia yang amat keras ini. Dinginnya ruang operasi yang menusuk tulang kini memberikannya sebuah kehidupan yang baru.

Di dalam tidur panjangnya ia tidak berpikir kalau akan kembali terbangun dan melihat wajah mereka––orang-orang yang begitu dikasihinya. Rasa syukur memenuhi relung hati Ibran, setelah terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Rasanya ia sudah pergi jauh dan tak akan bisa kembali untuk menemui mereka. Namun, saat ini mereka semua berada di dekatnya dengan wajah luar biasa bahagia. Menyambutnya dengan senyum hangat yang menenangkan jiwa.

Rasa syukurnya tak berkurang meski kini ia harus hidup dengan organ milik orang lain. Ia sungguh berterimakasih pada orang yang telah mendonorkan jantung untuknya. Ia berharap semoga orang tersebut akan mendapat yang paling baik di sisi Tuhan atas perbuatan mulia yang telah dilakukan. Juga semoga keluarganya bisa dilapangkan atas kepergian beliau. Ibran juga berharap mereka bangga karena beliau sudaah melakukan pekerjaan mulia dengan cara menyelamatkan nyawanya.

Kebahagiaan Ibran bertambah kala ia diizinkan pulang ke rumah setelah dua minggu dirawat. Jantung barunya memang belum bisa diajak untuk melakukan pekerjaan berat, tetapi seperti yang sudah ia dengar dari dokter, sebentar lagi ia akan menikmati hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Ia tidak perlu khawatir saat harus meluapkan emosinya, ia juga tidak perlu khawatir akan tumbang jika menekuni pekerjaannya dengan serius, juga kini ia bisa menemani Alka untuk bermain basket. Ia jenuh terus-terusan menjadi penonton.

Ibran pulang bersama Vincent, Ara dan Anta. Lelaki itu duduk di samping Ibran dan harus rela lengannya serta bahunya di monopoli oleh Ibran. Pemuda 17 tahun itu tak membiarkan Anta untuk diam meski barang sedetik pun. Ia terus mengajak lelaki bicara sampai yang diajak bicara bosan setengah mati.

"Meneng o, Bran." (Diem, Bran.) Anta kesal. Semenjak masuk ke dalam mobil, cowok itu tidak berhenti barang sejenak. Ia heran apakah ada yang salah dengan Ibran hingga mendadak tingkahnya menjadi seperti ini. Namun, kalau diingat-ingat lagi, Ibran memang sudah seperti itu sejak lama.

Cengiran tanpa dosa muncul di wajah Ibran yang tampak lebih segar. "Ta, nanti kalo lo punya anak, harus mirip gue." Ocehannya semakin kemana-mana, diiringi dengan topik pembahasan yang sangat random.

"Idih, ngapain? Kan gue bapaknya, masa mirip lo?" ujar Anta. Sebenarnya sudah lelah meladeni Ibran, tetapi karena kemarin ia sampai rela menguras air mata demi kembalinya Ibran, ia harus sedikit bersabar.

"Biar lo nggak kangen gue, Ta. Jadi nanti tiap lo liat anak lo, keinget gue mulu. Hehehe."

"Sinting."

"Bun, Anta kasar!" adunya secepat kilat. Hingga mengakibatkan gerakan spontan dari Anta; mencubit lengan Ibran yang melingkar di lengannya. "Aduh!"

"Mampus!" kekeh Anta.

"Hush! Kalian berdua ini kayak anak kecil aja." Ara menengahi sambil geleng-geleng kepala. Wajah berseri milik wanita itu kentara jelas, bahkan kini senyuman tak pernah luput melengkung di parasnya yang ayu.

Yang muda mencebikkan bibir lantas melepaskan tangan yang lebih tua. Rautnya berubah muram. "Lo nggak asik!"

"Nggak asik apaan?"

Pathetic 2 ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora