✨17✨

3.5K 454 67
                                    

Dengkusan milik pemuda bongsor itu terurai. Sorot tajamnya lantas jatuh pada sosok lain yang berbaring di atas sofa. Sejak kepulangannya beberapa menit lalu, ia tidak disambut sama sekali. Ibran malah sibuk memainkan game di ponsel dan tak menjawab panggilannya. Lantas pemuda itu geram, ini kamarnya, tetapi malah ia yang diacuhkan. 

"Bran! Anjir, budeg, ya, lo?" kesalnya.

"Gue nggak denger," balas Ibran.

"Heh. Lo kenapa lagi? Pake acara nggak sekolah segala. Inget, sekarang kita udah kelas 12. Lo mau nambah alpa berapa banyak lagi, anjing?"

Tangan Ibran lama-lama kebas karena dipakai untuk menyangga ponsel secara terus menerus. Pemuda kurus itu mendecak. Ia keluar dari permainan yang sedang berlangsung, lantas mematikan benda berbentuk persegi panjang itu. Kedua kelopak itu memejam seiring dengan tubuhnya yang bangkit.

Sorot tegas itu menyapa manik kelam Alka. Ia mengangkat alisnya tinggi-tinggi,  menunggu si lawan bicara untuk menjawab pertanyaan yang ia lempar. Namun, yang terdengar malah sebuah dengkusan. "Gue gak mau sekolah. Percuma kalo gue sekolah, tapi nggak fokus dan malah mikirin masalah di rumah. Pikiran gue bener-bener penuh, Ka. Ke sekolah bukannya pinter, malah tambah stres gue yang ada." 

Penuturan Ibran tak bisa Alka sanggah. Pemuda itu juga sudah bercerita bagaimana posisinya saat ini. Alka tidak bisa memberikan solusi untuk masalah Ibran, karena ia sendiri masih belum paham betul mengapa masalah ini bisa menjadi sangat rumit. Persis seperti benang kusut yang sudah tak dapat diurai kembali. Bagi Ibran ini pasti sulit. Belum selesai satu masalah, sudah timbul lagi yang baru.

Ibran tidak pernah mengeluhkan keadaannya secara blak-blakan, kecuali ia memang sudah tak bisa menahan semua itu sendirian. Tatapan Alka melembut, menyentuh sisi lain Ibran yang gampang digentarkan. Terbukti dari respon pemuda di seberang yang segera mengalihkan pandang. Mencari objek lain yang dapat membuat ia teralihkan dari sendu yang menyeruak tanpa izin.

Jauh di dalam hati Ibran, ada keinginan untuk berdamai dengan semua ini. Ia rasa kehidupan yang ia jalani sebelum hari ini, lebih baik dari apa pun. Saat ia masih bersama Anta. Saat itu, meski tidak ada figur orang tua yang sejak dulu selalu ia idamkan. Namun, ia bisa hidup lebih tenang. Tanpa terbayang-bayang banyak hal yang seolah menyudutkannya.

Benar. Saat kamu melepaskan atau meninggalkan sesuatu, kamu baru akan tahu bagaimana nilai sesuatu itu untuk dirimu. Apakah itu berharga atau tidak, apakah itu benar-benar dibutuhkan atau tidak. Waktu tak bisa bergulir ke masa lampau, yang di sana hanya 'kan jadi kenangan abadi. Dan bagi yang masih berpijak di masa sekarang, tugasnya adalah terus melangkah. Menjadikan mereka yang bertambat di masa lampau sebagai palang menuju masa depan penuh  deraian bahagia.

"Dari kapan ada di sini? Mau makan nggak?" Alka mengganti topik pembicaraan mereka. Tak enak melihat raut muram yang sang sahabat pasang ketika selesai menuturkan jawaban dari pertanyaan yang ia lempar.

Ibran diam sejenak. Lantas menjawab, "Sekitar jam 10 udah di sini."

"Makan? Udah makan belum lo?" tanya Alka. Ia mendelik saat yang Ibran berikan adalah gelengan. Pantas saja sejak tadi ia terlihat begitu lemas tak bertenaga. Biasanya sudah mengoceh dari ujung ke ujung menyumpahi lawan mainnya di game. Alka melepas seragam yang ia kenakan hingga menyisakan sebuah kaos putih polos. "Lo mah ngadi-ngadi, udah tau ada maag tapi makan ditunda mulu. Ntar lambung lo kenapa-napa, mampus!"

"Lo jangan nakutin, dong!" Ibran mendecak. Lalu meraba perutnya yang sejak tadi dihinggapi sensasi menusuk.

Alka beranjak pergi dari dalam kamar. Dan saat itu juga sakit di sisi kanan perut Ibran semakin terasa. Ia membungkuk dan berakhir kembali merebahkan tubuh di sofa sambil meringkuk seperti janin. Matanya terpejam menahan sensasi itu. Beruntung rasa menusuk itu bisa sedikit tersamarkan saat ia berbaring. Ia menghela napas panjang, dadanya juga terasa berat sejak sakit itu mengusiknya.

Pathetic 2 ✓Where stories live. Discover now