✨13✨

3.3K 427 52
                                    

Jenuh melewati dua minggunya tanpa pergi ke luar rumah seorang diri––kecuali saat sekolah, itu pun ia harus diantar oleh supir––Ibran akhirnya berhasil mencuri kesempatan. Di Minggu yang kelabu ini, ia izin keluar dengan alasan ke Gereja. Vincent tidak memberikan izin pada awalnya, ia bersikeras untuk pergi bersama Ibran. Namun, Dewi Fortuna berpihak pada Ibran, mendadak Vincent mendapat telepon penting dan gagal menemani Ibran ke Gereja pagi itu.

Dua minggu kemarin adalah hukuman untuknya. Ia diomeli habis-habisan oleh Vincent dan Ara. Dan berakhir menjatuhkan hukuman tersebut pada Ibran yang malang. Selama dua minggu, Ibran harus berangkat diantar jemput oleh supir dan dilarang pergi ke luar bersama Alka. Ibran benar-benar bosan dan selalu mencari celah untuk kabur, tetapi penjagaan Vincent terlalu ketat hingga segala cara yang Ibran coba tidak membuahkan hasil.

Dan pagi ini Ibran sangat bersyukur akhirnya bisa ke luar tanpa Vincent. Meski masih ada ajudan pria itu yang setia membuntutinya, tetapi akan lebih mudah membodohi mereka daripada Vincent. Ibran mengabari Alka dan Esa dengan sangat antusias. Rasanya seperti seorang Rapunzel yang berhasil keluar dari dalam kastil.

Tangan Ibran melambai heboh pada dua pemuda jangkung yang berada di depan Gereja. Ia segera melangkah turun, lantas berlari menghampiri kedua temannya itu. Alka dan Esa kompak terkekeh melihat bagaimana Ibran berlari ke arah mereka. Persis seperti anak SD yang dijemput oleh orang tuanya.

Ibran menahan pekikannya ketika sudah jauh. Napas cowok itu berembus lega. Melepaskan segala sesak yang ia tahan sejak kemarin-kemarin. "Akhirnya ... gue bebas!"

"Alay," balas Alka seraya menghadiahi toyoran di dahi Ibran.

"Lo punya masalah apa, sih, sama gue? Nggak bisa liat gue seneng dikit?!" ujar Ibran gemas. Namun, kekesalannya harus ia tahan karena Esa menarik tubuhnya tanpa memberi aba-aba.

Esa duduk di tengah-tengah kedua pemuda yang sekarang kalau bertemu hanya akan bertengkar itu. Mengantisipasi kalau nanti mereka tiba-tiba membuat keributan di tengah-tengah khidmatnya ibadah. Tentu saja Esa tidak mau hal itu terjadi, karena ia juga pasti akan ikut malu. Sebab ia datang bersama dua manusia bak Tom and Jerry itu.

Ketakutan Esa lenyap setelah kedua manusia itu berhasil hening sejenak selama mereka beribadah. Ibran terlihat begitu khidmat. Entah apa yang tengah ia minta pada Tuhan sampai seserius itu saat matanya terpejam dan merapal doa. Kedua telapak tangannya menyatu bersama dengan seluruh jiwa yang ia pasrahkan pada Yang Kuasa. Di dalam kepala cowok itu masih banyak pertanyaan mengapa ia kembali diizinkan untuk menetap di semesta-Nya. Dan mengapa ia harus kembali melewati jalan berduri di antara bunga-bunga bermekaran.

Jujur saja Ibran iri. Iri dengan mereka yang berjalan begitu damai di atas kelopak bunga yang wanginya menyeruak memikat jiwa. Berbeda dengan garisan takdir yang membawa ia ke jalan penuh duri dan kerikil tajam. Jalan terjal yang membuat ia harus jatuh bangun menghadapi rasa sakit yang mereka ciptakan. Juga selalu ada mega kelabu, sekali pun matahari bersinar terang untuk makhluk lain. Ia tak pernah bisa benar-benar merasakan kehangatan dari benderangnya sang surya.

Kepala pemuda itu tertunduk. Air matanya terjun tanpa diberi mandat oleh sang pemilik, membanjiri pipi mulus Ibran. Sesak tak kasat mata itu hadir mengisi rongga dadanya. Paru-parunya serasa diremas hingga oksigen tak mau bertandang ke sana. Bahkan untuk sekedar singgah saja tak mau. Ia menggigit bibir bawahnya kuat. Kemudian menarik napas panjang. Membiarkan paru-parunya kembali terisi. Sedikit lega setelah berhasil menyingkirkan sedikit beban yang terus menggelayuti pundaknya.

"You okay?"

Ibran segera menghapus air matanya. Kemudian mendongak. Pandangan cowok itu mengabur selama beberapa detik, lantas mengernyit saat objek di hadapannya sudah jelas terlihat. "Jeanneth?"

Pathetic 2 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang