✨10✨

3.8K 497 43
                                    

Senandung ringan dilantunkannya kala menyusuri jalan tol menuju Puncak. Rasa bosan yang hampir membunuh Ibran, membawa cowok itu memiliki ide untuk refreshing ke suatu tempat yang jauh dari Jakarta. Bersama dua orang lainnya--Alka dan Esa--Ibran bersenandung mengikuti alunan musik yang diputar. Dua hari lagi ia akan kembali ke sekolah dan ia memutuskan untuk menjernihkan kepala sejenak. Meski ia harus berbohong pada Ara dan Vincent.

Mereka harus berkendara dua jam lebih untuk sampai ke vila yang sudah mereka sewa. Mereka menyewa vila itu untuk dua hari satu malam dengan uang hasil patungan. Ibran membobol tabungannya sementara dua orang itu menghabiskan uang bulanan mereka. Tidak apa, selagi mereka bisa membuat Ibran senang. Kebetulan mereka juga memang sedang butuh refreshing. Otak mereka kaget dengan banyaknya pelajaran yang harus disimpan dalam memori. Mengingat mereka sekarang sudah kelas 12 dan tahun ajaran ini menjadi kali terakhir mereka menjadi seorang murid SMA.

Mereka membawa lumayan banyak barang ke Puncak. Ibran membawa dua selimut dan banyak jaket tebal untuk jaga-jaga jika nanti ia kedinginan di sana. Dari mereka bertiga, Ibran-lah yang paling antusias. Cowok itu bahkan sudah membayangkan akan melakukan apa saja di Puncak nanti.

"Bran, lo serius udah boleh main, 'kan?" tanya Esa di tengah perjalanan. Ia masih agak ragu dengan pernyataan Ibran pasal kondisinya yang sudah cukup kuat untuk bepergian dan menginap di tempat yang jauh.

Ibran mengangguk cepat. "Udah boleh, kok. Tapi, ya gitu," jawabnya jujur.

"Gitu apaan?" Alka menyambar. Ia duduk di depan bersama Esa untuk sesekali gantian menyetir. Sementara Ibran di belakang memeluk bantal besar yang dibawanya dari rumah.

"Gak boleh lari-lari, gak boleh olahraga berat, terus obatnya nggak boleh di-skip. Terus ... gak tau dah, lupa. Pokoknya nggak boleh capek," ujar Ibran seperti anak TK yang tengah antusias untuk menceritakan kembali buku bacaan yang berhasil ia baca. "Padahal, sekarang udah jauh lebih enak dari dulu. Masih aja dilarang ini itu. Males gue, anjir."

"Lo bawa obat, 'kan?" tanya Alka memastikan.

Lantas dibalas anggukan oleh Ibran. Ia membuka ransel di sebelahnya dan menunjukkan obat miliknya. "Nih, lengkap!"

"Bagus!" ujar Alka sambil mengacungkan jempolnya.

"Nanti kalo lo ngerasa nggak enak badan atau apa, langsung ngomong. Jangan nunggu parah, soalnya sini ke Jakarta tuh nggak deket." Esa kembali buka suara. Mewanti-wanti Ibran yang memang gemar sekali membuat orang sekitarnya khawatir karena selalu diam saat merasakan sesuatu yang tidak beres dengan dirinya.

Tawa Ibran terurai. Ia membenarkan letak kacamata bulat yang ia pakai. Lantas mengacungkan kedua jempol pada Esa sambil mencondongkan badan. "Tenang aja. Gue sekarang udah berubah jadi baja, bukan kerupuk lagi."

"Idih, apaan!" sahut Alka sambil memasang wajah meremehkan.

Plak!

"Anjeng, kok lo jadi ringan tangan, sih?!"

Ibran menjulurkan lidahnya. "Salah siapa ngerecokin gue, hah?"

"Sa, ini yang duduk di belakang siapa, sih? Bisa turunin aja, nggak?" Alka memalingkan wajah dengan Esa sok serius. Cowok beralis tebal itu masih mengusap-usap pipinya yang menjadi objek kekerasan Ibran. Sementara Esa hanya tertawa sebagai balasan.

Mereka kemudian hanyut pada kegiatan masing-masing. Ibran yang tadinya heboh, malah tertidur saat mereka sudah sampai di vila. Udara puncak di pagi menjelang siang itu masih dingin, Alka yang sudah terbiasa dengan cuaca panas di Jakarta langsung memeluk dirinya sendiri. Mereka berdua akhirnya diam di dalam mobil sambil menunggu Si Pangeran bangun dari tidurnya.

Pathetic 2 ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora