Chapter 39

21 1 0
                                    

"Rasa sakit terburuk adalah ketika seseorang membuatmu merasa sangat istimewa kemarin dan membuatmu merasa tidak diinginkan hari ini." |Lintang|

Sudah beberapa tahun Gema dan Lintang tak saling bertemu. Tepatnya semenjak Lintang memutuskan untuk meninggalkan kota itu untuk melanjutkan kuliah sekaligus bekerja . Gema pun menerima keputusan Lintang karena biar bagaimanapun cita-citanya adalah hal yang memang harus diperjuangkan. Ia pun tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan karena keinginan besarnya harus tertunda lagi.

Mungkin memang benar jika Ia ingin memilkinya lebih lama lagi, Ia juga perlu menunggu lebih lama pula, pikirnya. Namun entah mengapa kali ada ketakutan besar yang menyelimuti perasaanya. Entahlah, kali ini Ia hanya ingin fokus mengelola perusahaan Ayahnya.

Ternyata mengelola suatu perusahaan yang baru baginya itu tidaklah semudah yang Ia bayangkan. Ia harus lembur, bertemu dengan banyak klien, hingga mengurus cabang perusahaanya yang tentu saja membuatnya sangat sibuk. Namun dengan adanya Malvin yang membantu dan memberikan saran-saran padanya, Ia cukup terbantu dengan kehadiranya. Meskipun Malvin membantunya di perusahaan, Ia juga mengatakan jika tak ingin tergantung pada Gema dan papanya sehingga merintis usaha coffee shopnya sendiri. Sesekali Gema juga bertemu dengan Remon dan Dipa untuk sekedar melepas penat lalu bermain musik bersama. Begitulah kehidupanya saat ini.

Lintang pun dengan semangat menjalani kehidupan barunya di kampung halamanya itu. Disana Ia menjalani pekerjaan menjadi seorang guru bimbingan konseling yang sudah sejak lama ingin dilakukanya. Aktivitasnya juga terbilang padat karena selain bekerja, ia juga harus berkualiah demi mengejar cita-citanya untuk mendapatkan tingkatan yang lebih tinggi lagi. Saat sedang libur, Ia juga ikut membantu pekerjaan Ibunya membuat dan menjual gorengan.

"Ibu istitahat saja biar Lintang yang menggoreng gorenganya."

"Ibu tak bisa jika tak melakukan apapun Lintang.  Kamu saja yang istirahat."

"Ahh,  Ibu.  Sudahlah Ibu istirahat saja ya."

"Baiklah jika kamu maksa. Komunikasi mu baik-baik saja kan nak dengan Gema?"

"I..ya bu baik," sahut Lintang sedikit ragu.

"Syukurlah."

Lintang tersenyum pahit mendengar ucapan Ibunya. Entah mengapa karena kesibukan masing-masing, komunikasinya dengan Gema semakin terhambat.  Bahkan sangat jarang sekali. Pernah ada saat dimana mereka hanya saling mengirim pesan dan itupun dilakukan hanya dua minggu sekali. Lintang pun memaklumi karena Ia tahu keisbukan kekasihnya itu dan memang menjalin hubungan Long Distance Relationship bukanlah perkara yang mudah.

"Kamu kenapa Gem?" tanya Malvin tampak terkejut dan menghentikan aktivitas makanya.

"Nggak cuma pusing,"sahutnya sembari menopang kepala pada tanganya di meja makan.

Melihat kondisi Gema tak biasa dan begitu kesakitan, Malvin pun mendekat dengan cemas. "Aku antar ke rumah sakit ya."

"Nggak perlu Vin," sahutnya menahan kesakitan.

" Ayolah Gema, ini nggak bisa diremehkan."

Kali ini Gema terlihat menuruti perkataan Malvin. Sebenarnya Ia sudah cukup lama Ia meraasakan sakit kepalanya namun Ia tahan. Namun kali ini Ia merasakan kepalanya sakit begitu hebat. Malvin pun segera bergegas ke ruang tamu mengambil kunci mobil.

Di perjalanan menuju rumah sakit itu, nampaknya gema semakin kesakitan sehingga Malvin yang melihatnya dengan cemas mengencangkan laju mobilnya. Setelah sampai dengan sigap Malvin memapah Gema untuk melakukan pemeriksaan.

"Bagaimana kondisinya Dok?"

"Sepertinya ada ketegangan pada sistem otaknya karena kecelakaan keras itu."

"Begitu ya pak," sahut Gema lemah.

"Mas Gema harus sering-sering datang kemari untuk melakukan perawatan lanjutan."

Gema hanya menunduk seakan pasrah dengan kondisinya itu. Malvin melirik padanya seakan dirinya merasa sangat bersalah akan rasa sakit Gema itu. Gema pun keluar dari ruangan itu terlihat lesu sedang Malvin mengikuti dibelakang.

"Tunggu disini sebentar ya Gem."

Gema hanya mengangguk menyahut, lalu Malvin beranjak menuju ke tempat kerja tadi. "Tolong berikan pengobatan sebaik mungkin agar Ia bisa pulih lagi pak."

"Pasti Mas, akan kami usahakan."

Setelah berbicara dengan Dokter, Malvin beranjak menuju tempat Gema menunggunya tadi. Ia pun menepuk halus punggungnya seakan menenangkan dan memberikan semangat sembari melangkah meninggalkan tempat itu.

Meskipun dalam kondisi sakitnya itu, Gema masih melakukan aktivitasnya sehari-hari seperti biasa. Ia tak ingin rasa sakit yang di deritanya menghambat aktivitas yang dilakukan sikap keras kepala itulah yang seringkali membuat Malvin menghawatirkanya.

"Gema, ini berkas-berkas yang harus kamu pelajari untuk meeting bersama klien nanti," ucap Malvin menghampiri di ruang kerjanya.

"Iya taruh disitu,"ucapnya lemas sembari memegangi kepala.

"Kamu kenapa? Kalau sakit biar aku saja yang menggantikan."

"Tidak perlu Malvin, kamu urus agenda yang lain saja."

Malvin masih menatapnya dengan khawatir saat beranjak keluar. Mengapa anak itu begitu memaksakan diri," gumamnya. Sedang Gema yang di khawatirkanya itu hanya menganggukkan kepala menatapnya seakan memberi bukti jika Ia sedang baik-baik saja.

Tak beberapa lama setelah Malvin berlalu, ponsel gema tiba-tiba berdering. Ia meraih ponsel itu sembari memegangi kepalanya yang tengah kesakitan. Sebuah pesan masuk berbunyikan:

"Kamu kenapa lama nggak kasih kabar aku?"

"Kamu baik-baik saja kan?"

Jelas saja setelah jauh hanya Lintang yang mengirimkan pesan seperti itu padanya. Ia yang sering menayakan kabarnya, bagaimana keadaanya namun seringkali Ia abaikan juga. Kali ini Ia mencoba untuk menengakan pikirkanya dan menahan rasa sakitnya. Kemudian Ia menarik nafasnya panjang sebelum mengetikkan sesuatu.

"Kita putus aja ya."

"Kenapa Gema?"

"Kenapa?"

Lintang dan Gema [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang