Chapter 12

612 50 3
                                    

Tidak seperti biasanya Ravi menyuruh seluruh anggota keluarganya kumpul. Dan lelaki tua itu tidak memberikan alasan. Semuanya telah berkumpul di ruang keluarga kecuali Elvi. Tv pun tidak dibiarkan menyala.

Tapi mama Tesya terlihat sangat senang dari raut wajahnya. Namun Disti juga sama bingungnya seperti halnya dengan dirinya.

"Disti, bagaimana sekolah kamu?" Tanya Ravi. "Baik pa, nilai dari tugas-tugas ku bagus semua." Girang Disti.

Gadis itu memang tidak tahu diri. Semua tugas yang mendapatkan nilai bagus itu hasil jerih payah Bia sampai tidur larut malam.

"Bagus, semoga kamu bisa menjadi juara satu di kelas." Puji sang papa.

"Kalau Disti juara satu, Disti boleh minta apapun yang Disti mau pa?"

"Boleh dong. Sekarang kamu pergi ke kamar dan belajar."

"Oke papa."

Disti bangkit dari sofa dan segera berlari ke kamar. Dirinya sudah tidak sabar untuk melanjutkan nonton drakornya.

Selepas kepergian Disti. Pandangan Ravi berubah menjadi tegas tidak terbantahkan. Bia hanya mampu menunduk takut jika papanya akan mengamuk seperti kemarin.

"Papa di depan kamu bukan di bawah," sindir Ravi. Tesya mengelus lengan suaminya untuk membantu meredamkan emosinya.

Dengan takut-takut Bia mulai memadang papanya dengan ragu. Jujur sebaik-baiknya Ravi, dirinya paling takut jika papanya marah.

"Bagimana sekolahmu pagi tadi?"

Bia hanya bisa diam tanpa bisa menjawab. Niatnya yang mau ke sekolah walaupun telat tapi berakhir di rumah sakit. Tapi dirinya juga tidak mau melihat papanya khawatir. Karena tidak ada hal yang harus dikhawatirkan. Ia takut jika papanya akan memaksanya untuk kembali berobat. Sedikit sulit untuk merelakan cacat di kakinya, namun dirinya juga tidak boleh egois.

Udara malam juga mampu mendukung Bia diam tidak bersuara. Melihat anak gadisnya yang diam saja membuat kesabarannya sudah diambang batas.

"Kenapa bolos?"

Bia semakin sesak kala papanya tidak mau melihat dirinya sedikitpun. Tapi Bia tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya. Karena baginya itu sangat sulit.

"Maaf."

"Pagi tadi pergi kemana?"

Lagi-lagi Ravi dibuat kecewa dengan anak kandungnya. Anaknya itu sekarang berubah menjadi berandalan. Hari ini sudah berani bolos kesekolah. Apa lagi yang akan dilakukan Bia besok dan seterusnya.

"Bia, jawab dong pertanyaan dari papa kamu." Desak Tesya. Wanita itu tersenyum dengan liciknya. Hal inilah yang disenangi wanita itu. Mungkin juga ini bentuk perhatian kecil dari Tesya untuknya.

Wanita itu juga susah mengekspresikan pedulinya terhadap dirinya. Terkadang dengan perlakuan tidak menyenangkan dari Tesya membuatnya merasa diperhatikan disayangi dan dicintai.

"Maaf ma, pa."

Melihat putrinya yang tidak mau jujur membuatnya muak seketika. Dirinya merasa putrinya sekarang susah diatur. Dan lebih banyak membangkang.

"Papa tidak mau mendengar ucapan maaf dari kamu. Yang papa ingin tahu kemana perginya kamu tadi pagi."

Sebisa mungkin Tesya menyembunyikan tawanya. Anaknya yang tidak berguna itu sebentar lagi akan dibenci oleh papanya sendiri. Bia yang melihatnya tersenyum kecil. Mamanya sedang menyemangati dirinya untuk bersabar mengahadapi papanya yang sedang emosi. Terkadang dirinya merasa bersyukur karena mendapat mama seperti mama Tesya.

Bia meringis sakit. Telinganya sudah berada di antara jemarinya Ravi. Tarikan itu sepertinya akan membuat telinganya terlepas.

"Cepat kembali ke kamar." Usir papanya lalu pergi menuju dapur. Kepalanya sangat pusing menghadapi anak semata wayangnya.

Bia menjalankan kursi rodanya setelah mengusap sedikit air matanya yang keluar. Dirinya masih bisa tersenyum karena melihat Tesya yang tersenyum kepadanya.

***

Siang ini tidak ada latihan basket. Tetapi ketiga manusia itu berada dilapangan basket karena paksaan dari salah satunya.

Kedua temannya hanya duduk di tepi lapangan. Sedangkan Fahri asik men-shoot bolanya ke ring. Sesekali cowok itu juga mengobrol dengan kedua temannya.

"Pak bos gimana udah nggak galau kayak kemarin?" Ledek Evan. Fahri tersenyum kecut. Harga dirinya anjlok jika diejek Evan seperti itu. "Diam lo!"

"Ga, kalau gue salah mengambil langkah gimana?" Evan menirukan dengan suara yang dibuat-buat. Dengan kesal Fahri melemparkan bolanya tepat ke kepala Evan. Namun cowok itu mampu menangkap dengan sempurna yang diiringi cacian karena tidak berhasil.

Ega merebut bola dari tangan Evan dan beranjak memainkannya. Sedangkan Evan masih terpingkal-pingkal melihat tingkah konyol sahabatnya kemarin.

Mengabaikan orang-orang berlalu-lalang. Fahri menjitak kepala Evan dengan tidak tahu dirinya. Cowok itu mengumpat kesal. Tenaga jitakan Fahri terhadapnya sangat lah tidak berperikemanusiaan.

Matahari yang terik tidak melunturkan semangat Ega dalam melatih skill nya. Banyak cewek-cewek yang menjerit histeris melihat ketampanan Ega.

Begitu juga dengan Kana, cewek itu tidak berhenti berdecak kagum. Walaupun lebih tampan Fahri namun Ega juga termasuk dalam golongan tampan. Jiwa jomblonya meronta-ronta ingin memiliki Ega.

Bia yang menyadari kekaguman yang Kana pancarkan sedikit merasa kesal. Dengan perasaan yanh sedikit dongkol, Bia menjalankan kursi rodanya sendiri menuju kantin. Meski nantinya ramai Bia tidak masalah. Karena mulai sekarang dirinya harus mampu tampil percaya diri dihadapan orang banyak dengan kondisi apa adanya.

Gadis itu merasakan kesusahan menjalankan kursinya. Padahal di bawah tidak ada sekecil benda apapun yang menghalangi rodanya berputar. Tapi ada sesuatu yang membuatnya ingin meledak. Sebuah tangan memegang kursi rodanya dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Kana sahabatnya. Gadis menyebalkan yang menghambat kedatangannya di kantin.

"Lepasin, Na. Gue bisa sendiri, sana lo liatin kak Ega sampai puas," sindir Bia yang masih kesal.

"Na? Na siapa?"

Suara itu- suara yang sering ia dengar. Pemilik suara yang selalu membantunya. Saat mendongak ke belakang pandangannya jatuh pada keringat di pelipis yang membuatnya salah fokus.

Bia malu karena salah orang. Apalagi tadi ia sempat menyebut salah satu dari temannya itu. Bukannya apa-apa dirinya juga tadi sempat mwngeluarkan nada kesal.

"Maaf kak, gue kira lo Kana."

"Kana? Temen lo?" Bia mengangguk mengiyakan. "Mau kemana?" Tanya Fahri basa-basi.

"Kantin."

Dan tanpa persetujuan Bia, Fahri sudah mendorong kursi rodanya. Bia yang kaget refleks memegang rodanya bermaksud menghentikannya. Namun berakhir meringis pelan. Fahri yang menyadari segera menarik kedua tangan Bia dari belakang.

"Udah tau lagi jalan kenapa malah dipegang rodanya." Kesal Fahri.

Posisi saat ini membuat jantungnya tidak karuan. Mungkin karena tidak terbiasa.

"Kaget gue. Lo sih nggak ngomong dulu."

"Iya sorry."

'''

#Ditulis 951 kata

Segenggam Luka (COMPLETED)Where stories live. Discover now