Chapter 17

538 42 4
                                    

"Elvi, ngapain? Tumben kamu kesini. Sini masuk."

Elvi memenuhi permintaan kakaknya yang mempersilakan dirinya untuk masuk ke kamarnya. Sebelumnya tadi ia sudah mengetuk pintu.

Bocah kecil itu membawa satu buku dan pensil ditangan kanan dan kirinya.

"Kak Bia, ajarin Elvi ya."

"Iya, sini duduk." Bia menepuk kasurnya. Sedangkan dirinya masih setia duduk dikursi roda.

"Elvi ada pr kak, tapi Elvi nggak paham. Elvi bingung, mau tanya mama tapi mama pergi sama papa."

Bia menerima buku tulis yang sudah tertera beberapa soal yang telah ditulis adiknya. Gadis itu mengangguk paham, "kamu punya buku panduan?"

"Punya kak, tapi dikamar. Aku ambil dulu ya kak."

Elvi bangkit dan berlari dengan cepat. Bia tersenyum kecil. Adiknya sangat menggemaskan dengan tubuh yang sedikit gempal. Meski tidak terlalu gendut tapi pipinya terlihat gembul. Tak jarang Bia mencubit pipi chubby itu.

"Kak, ini bukunya."

"Baca dulu nanti kakak kasih tahu kalau masih nggak ngerti."

"Siap kak."

Bia kembali mengerjakan tugas yang sempat tertunda beberapa saat. Untungnya besok tidak ulangan jadi ia bisa mengajari adiknya dengan waktu yang luas.

"Kok sulit sih. Apa emang nggak ada isinya ya? Iya kali nggak ada isinya. Yaudah selesai kalau gitu."

Bebarengan dengan bukunya tertutup ada notifikasi whatsapp dari ponselnya.

Kak Fahri : Gimana tangannya?

"Lumayan baikan kak. Oke kirim," batin Bia sambil mengetik dengan menggunakan tangan kiri.

Kak Fahri : Oke, sampai ketemu besok

Bia tersenyum menanggapi lalu beralih pada adiknya. "Serius banget bacanya," kata Bia diiringi cubitan di pipi Elvi.

Bocah kecil terlihat kesal, "kakak, nanti pipi aku jelek kalau kakak tarik-tarik terus."

"Hehe, iya-iya kakak minta maaf. Abisnya kamu lucu banget sih."

"Kak Bia, minta tolong ya ajarin. Besok aku ambil."

Bia dan Elvi keduanya menoleh ke arah pintu secara bersamaan. Disana terdapat Disti sedang membawa beberapa buku tulis. Bia menerimanya dengan senang hati. Dengan begini ia bisa dekat dengan adiknya.

"Kak Disti kok pergi, kak? Kan tadi minta diajarin." Tanya Elvi ketika Disti sudah pergi.

Bocah kecil yang polos. Anak itu tidak tahu apa yang terjadi, tidak tahu apa yang dimaksud kakaknya, Disti.

"Iya, kan kakak harus pelajari dulu. Nanti baru kakak ajarin kak Disti. Gih lanjut bacanya. Keburu malem, nanti ngantuk."

***

"Pak bos gue, kemarin kayaknya lagi mempertaruhkan antara hidup dan mati." Evan menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah tidak paham dengan tingkah seseorang yaitu Fahri.

Ega yang merasa bingung menatap Evan. Menunggu kejelasan selanjutnya.

"Ngapain natap gue kayak gitu. Jangan-jangan lo homo!" Evan memberi jarak pada Ega tapi merapat pada Fahri.

Merasa tubuhnya sedikit terdorong Fahri protes, "lo yang homo. Minggir panas nih."

Memang siang ini ada latihan basket. Cuaca yang tidak terlalu panas dimanfaatkan untuk berlatih skill mereka. Saat ini sedang beristirahat. Beberapa temannya juga asik dengan obrolannya masing-masing.

"Ambilin minum gue, kering kerontang tenggorokan gue."

"Fahri kemarin hampir mati?"

"Amit-amit. Mau lo digentayangin? Cepet udah haus bro ini."

Evan meneguk air yang tersisa hingga habis diakhiri dengan suara sendawa khas cowok itu. Meski tidak terlalu panas tapi mereka juga mengeluarkan banyak tenaga untuk bermain basket.

"Gue udah nonton apa yang lo rekomendasikan kemarin. Chemistry-nya dapet."

Cowok itu tersenyum bangga seraya menepuk dadanya, "Evan gitu loh, paling pinter gue kalau milih-milih film kayak gitu." Ega berdehem.

"Tuh liat bos kita, semua cewek dideketin." Evan menunjuk menggunakan dagunya. Melihat Fahri terlihat sedang berinteraksi dengan cewek berkaca mata.

"Udah biasa. Nggak heran lagi." Jawab Ega.

***

Ravi dan Tesya baru saja tiba di rumah. Hari ini istrinya itu menemaninya di kantor seharian.

"Pa, mama kayaknya pengen nasi goreng buatan papa deh. Papa mau nggak buatin?"

Ravi terlihat mempertimbangkan permintaan istrinya, "mau nggak ya? Iya deh, lagi pengen banget ya ma?"

"Iya pa, tapi mandi dulu. Biar nggak asem, haha."

"Disti dengar tadi papa mau buatin mama nasi goreng ya, pa?" Tanyanya seraya bergelayut manja di lengan tangan Ravi. "Pa, buatin Disti juga ya. Disti kan mau juga," lanjut pintanya.

"Nggak mau ah, kan papa mau buatin spesial buat mama," goda Ravi.

"Ah papa," rengek Disti seraya memeluk papanya. Meski kesal dengan Ravi anak gadisnya itu tetap bersikap manja.

"Becanda sayang. Papa mandi dulu ya, nanti masak sama-sama."

***

"Kak Bia, ayo kak ke dapur. Papa mau masak nasi goreng, kata mama ini spesial," girang Elvi yang masih diambang pintu.

Bia tertawa pelan, merasa lucu dengan tingkah adiknya. "Tapi kakak lagi ngerjain tugas, nanti saja ya. Elvi duluan, nanti kakak nyusul."

Tidak mungkin Bia meninggalkan tugas adiknya begitu saja. Meski tidak terlalu banyak tapi tetap saja. Adiknya nanti akan marah pada dirinya jika tidak segera diselesaikan.

Elvi tidak setuju. Dirinya ingin mencicipi hasil masakan papanya bersama-sama. "Nggak mau, Elvi pingin sama kakak. Elvi tunggu aja ya, pasti sebentar lagi selesai."

Bocah kecil itu sudah duduk di tepi kasur dengan menggoyangkan kedua kakinya persis seperti bocah lainnya yang gabut. Menunggu kakaknya ternyata membuat dirinya bosan. Tapi ia harus bisa menunggu sebentar lagi untuk bisa makan bersama-sama.

Melihat Elvi yang sudah merasa suntuk membuat Bia tidak tega. "Yuk, kita ke dapur. Katanya mau lihat papa masak."

"Yey, ayo kak, aku bantu dorong ya."

Elvi berdiri senang. Meski ia mendorong kursi roda kakaknya tapi itu tidak terlepas dari usaha Bia menjalankan kursi rodanya sendiri. Adiknya itu tidak kuat jika harus mendorongnya. Biarlah seperti ini, jika melihat adiknya senang bisa membantu dirinya, Bia juga tidak bisa menolak niat baik Elvi.


#Ditulis 872 kata

Segenggam Luka (COMPLETED)Where stories live. Discover now