"Gimana, dong!?"
Adel berseru heboh sambil menarik-narik seragam Audy. Audy berdecak, "Gue lagi minum, Adel sayang. Nih sedotan dari tadi masuk lubang hidung."
"Yaelah, tuh tugas, 'kan udah diberi tiga hari yang lalu." Oliv menyahut sambil menutup kasar buku bahasa Indonesia.
"Gue lupa ngapalin, gimana, dong?" Adel memelototi Oliv, "Lo juga, hari ini pelajaran bahasa Inggris kok Lo baca buku bahasa Indonesia!?"
Oliv memutar matanya, "Nilai bahasa Inggris gue itu lebih tinggi dari bahasa Indonesia! Makanya gue lebih rajin belajar."
Chelsea menepuk pundak Adel, "Izin ke UKS aja sana."
"Gak bisa gitu, dong. Adel, cepat hapalin! Lagipula Bu Rahma baik orangnya." Oliv kembali menyahut.
Airin menggeleng kepala, "Gue udah hapal, dengerin coba." Airin berdehem kemudian dengan lancarnya mulutnya berbicara sesuai isi-isi paragraf yang ia bikin.
Chelsea bertepuk tangan, "Aksen Lo."
Airin mengangguk, "Aksen Aussie gue masih kebawa."
Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki bertubuh gemuk membawa sebuket bunga lili putih dengan surat diselipnya. "Rin, buat Lo."
Mulut Adel terbuka lebar, "Bin!? Lo nembak Airin!?"
"Kaga, lah. Gue masih sayang nyawa kale. Ini tuh ada yang nitip buat Airin katanya."
Airin mencium bunga itu, "Dari Rivan, kan?"
Lelaki yang dipanggil 'Bin' tersebut menggeleng. "Bukan Rivan, tapi ganteng lah pokoknya."
Senyum yang semula terpantri di mulut Airin segera luntur. Otaknya kemudian mengingat nama yang kemungkinan memberikannya bunga ini. Dengan cepat ia lembar kembali bunga tersebut. "Buang!"
"Tapi, Rin—"
"GUE BILANG BUANG!"
Satu kelas terperanjat kaget. Chelsea segera berdiri dari bangkunya kemudian mengelus lembut punggung Airin, "Sabar, Rin. Jangan terbawa emosi, oke?"
Tanpa menghiraukan perkataan Chelsea, Airin segera keluar dari kelas meninggalkan tanda tanya bagi sahabatnya.
Chelsea mengernyitkan dahinya kemudian mengambil sebuah surat kecil berwarna merah muda tersebut.
Hai, honey.
Aku ingat sekali betapa bahagianya kamu saat Rivan memberimu setangkai bunga Lili putih. Aku marah tentunya, apa yang bisa anak ingusan itu berikan hingga membuat mu bahagia. Hari ini aku persembahkan sebuket bunga kesukaan mu. Aku ingin bunga ini menjadi saksi betapa manisnya senyum mu itu.Untuk Viovi kesayangan ku.
Chelsea segera meremas surat itu sebelum diketahui sahabat lainnya. Ia menatap pintu keluar dengan tatapan tak terartikan. Biasanya hampir setiap hari, Airin akan mendapatkan surat beserta coklat atau bunga dari fans cowok. Namun, ia tidak pernah se sensi ini. Well, sepertinya ada yang tidak beres, pikir Chelsea.
Disini lain, Airin berjalan dengan cepat menuju toilet. Tanpa lama ia segera membuka salah satu bilik dan segera memuntahkan isi perutnya. Tangannya gemetar dengan keringat yang terus mengalir.
-
"Eh, kemaren gue liat mbak Ayu lewat muka rumah gue." ujar Daffa. Novan menoleh sembari berdecih, "Kalau yang lewat modelan IU sih gue oke-oke aja. Lo doyan janda, Daf?"
"Emang Ayu, kok. Janda gang sebelah."
"Maksud gue IU."
"Iya, Ayu."
"Lee Ji-eun" Novan berkata dengan cepat sembari menatap Daffa dengan jengah.
"Lijiun?" Tanya Daffa dengan muka malas.
"Heh, apa Lo ngata-ngatain eonnie gue!?" Novan menyingsing kan lengan bajunya, "Sini lo, sebagai adik Mbak IU, gue gak terima!"
Dika yang sedari tadi menaikan game di handphonenya segera memukul mulut Novan dan Daffa. "Lo pada bisa diem kaga!?"
"Eh, kenapa batok kelapa yang nyahut?"
Rivan menghela nafas gusar. Lebih baik ia pergi ke kelas Airin dan mengajak cewek itu ke kantin. Ia bangkit dari duduknya dan pergi dari rooftop. Sesampainya di kelas Airin, ia tidak mendapati gadis tersebut di kursinya. "Mana, Airin?"
Audy menatap Rivan, "Gini, Van. Kita gak tau kemana Airin."
Rivan mengernyitkan dahinya bingung. Airin kemana? Chelsea yang melihat keadaan yang seketika hening segera menarik tangan Rivan untuk keluar dari kelas meninggalkan sahabat dan yang lainnya dengan tanda tanya.
Rivan mencekal tangan Chelsea, "Apaan sih Lo?"
Chelsea tidak menjawab ia segera mengambil sesuatu dari saku bajunya dan menyerahkan selembar kertas berwarna merah muda itu kepada Rivan.
"Gue gak tau apa yang terjadi, tapi gue harap surat ini membantu lo."
Rivan mengambil surat itu. Awalnya ia ragu tetapi setelah membaca isi surat itu, ia segera meremasnya dengan perasaan kesal. Ia memikirkan betapa kesal dan takutnya Airin.
Rivan menatap Chelsea, "Thanks. Gue pergi dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome Back, Tunanganku! (END)
Teen Fiction[Konfliknya rada berat. Setiap part pendek, agar tidak jenuh mendadak.] CERITA INI BELUM DIREVISI! *** Rivan Allard Alger dikenal lawan sebagai pemuda yang beringas dikarenakan menjadi ketua sebuah geng motor. Cucu kepala sekolah sekaligus anak pemi...